Total Tayangan Halaman

Minggu, 24 April 2011

MEMBANGUN DISIPLIN: Antri

Anda guru seorang guru, layak membaca gagasan ini.

Jika anda seorang guru diera reformasi ini pasti merasakan bagaimana sulitnya menanamkan disiplin pada anak didiknya. Bukan apa-apa, disiplin yang diketahui guru adalah ketatnya peraturan dan tata tertib ditiegakkan. Selama ini diyakini bahwa tertib itu baik, oleh karenanya menciptakan kenyamanan dan keselamatan. Tapi kenyataannya tertib justru ketinggalan dan mengesalkan. Ada bisa saksikan jika berkendara di lampu merah, jika kita mau tertib, tidak akan berjalan sebelum lampu lalin hijau pasti ketinggalan, walau pada antrian di depan.

Disekolah keadaannya makin tidak menentu lagi. Disiplin dan tata tertib nyaris diabaikan. Pengabainya bukan hanya peserta didik, tapi juga orang tua, guru, bahkan masyarakat pada umumnya. Kini sulit sekolah yang membiasakan disiplin dan tertib pada anak didiknya. Pasalnya sekolah tidak mau dituduh sebagai sebagai memeras, memaksa, memperalat, merampas hak anak semua atas nama demokrasi dan kebebasan. Tugas piket membersihkan ruang kelas sudah dihapus, dengan alasan sudah ada cleaning service, siswa kesekolah untuk belajar bukan bekerja. Siswa terlambat jangan dihukum, karena hukuman tidak mendidik dan sebagainya.

Sebagai pendidik tetap arus mendisiplinkan dan meyakinkan kepasa peserta didik bahwa disiplin itu baik dan memberikan manfaat yang baik pula. Buktikan, bukan hanya slogan tetapi memang benar.  Untuk itu yakinkanlah dengan kebiasaan mengantri di kelas.

Saat yang baik untuk menjalankan konsep ini adalah membuat tanda tangan dalam daftar hadir secara bergiliran. Ide ini terjadi mengingat model pembelajaran yang kini sedang dirintis menuju kepada Sekolah Kategori Mandiri. Salah satu ciri dari sekoalh dengan kategori mandiri adalah sistem moving kelas, yaitu kelas berpindah. Maksudnya siswa berpindah kelas setiap pergantian jadwal pembeajaran sesuai dengan kelas mata pelajarannya.

Perpindahan kelas memiliki berbagai kelemahan, antara lain butuh waktu yang relatif lama, memberi peluang siswa untuk tidak segera masuk kelas dengan berbagai alasan, seperta ngobrl di sepanjang pergantian, mampir ke kantin untuk berbagai alasan, kekamar kecil yang sebenarnya tidak perlu dan sebagainya Ini semua harus dieliminr oleh anda sebagai guru.

Bagaimana mengatasinya? Salah satunya adalah dengan menuliskan nama dan menandatangani daftar hadir secara bergiliran (mengantri). Caranya guru harus datang terlebih dahulu diruang kelas dan mempersiapkan daftar kosong sebagai daftar hadir. Siswa yang datang pertama harus membubuhkan nama dan menandatanganinya dilembaran dafatar hadir paling atas. Secara otomatis jika datangnya belakangan maka urutannya pun belakngan. Begitu seterusnya hingga siswa yang terakhir,

Siswa datang terlambat tidak usah dberi hukuman langsung saat itu, tapi sampaikan pada mereka bahwa daftar hadirnya ini akan bibagi dalam berapa kelompok nilai, contohnya tiga kelompok dari urutan paling awal dengan nilai A, berikutnya B dan kelompok terkhir C. Jadikan itu menjadi nilai sikap, aktifitas dan disiplin atau yang lain. Begitu seterusnya hingga periode tertentu dan djumlah untuk mendpatkan nilai rata-rata akhir. Jadikan sebagai nilai Afektif.

Jika anda mau menerapkan sistem ini mudah-mudahan siswa akan menjadi disiplin dalam mengikuti pelajaran, tanpa memaksa atau tindakan yang menyakitkan secara fiik. Dengan bigitu siswa akan berlomba datang lebih awal dan untuk menjadi yang terdepan. Selamat mencoba.

Jumat, 22 April 2011

PERADABAN PRASEJARAH


Kehidupan selalu berubah, berubah menuju kesempurnaan. Setiap masyarakat dan bangsa akan mengalami perubahan dalam hidupnya. Begitupun manusia prasjarah,
Walaupun tidak ada informasi tertulis tentang kehidupan masyarakat prasejarah, dapat dipastikan mereka telah mengalami perubahan dan perkembangan yang amat panjang. Dilihat dari berbagai hasil temuan arkeolgis, khususnya berupa artefak yang terkubur didalam tanah bersama fosil kerangka manusia para ahli berpendapat pahawa telah terjadi perubahan kehidupan manusia prasejarah. Perubahan dan kehidupan prasejarah dalam tulisan ini disebut sebagai Peradaban Prasejarah.
Perkembangan peradaban prasejarah dapat ditinjau dari beberapa segi, antara lain dari bahan pembuat peralatan hidup (teknologi), dari cara bermata pencaharian (ekonomi) ataupun dari kehidupan sosial dan politik.
Ditinjau dari segi teknologi, yaitu dari bahan yang dipakai untuk membuat peralatan hidup dibedakan menjadi Zaman Batu dan Zaman Logam. Zaman batu yaitu bahwa sebagian besar peralatan (yang ditemukan) verbahan baku batu. Karena beraneka ragamnya bentuk batu yang ditemukan, dari sederhana hingga komplek, dari kasar hingga halus zaman batu dibagi menjadi tiga tahap yaitu:
a.       Batu Kasar, disebut demikian karena produk batunya masih sangat kasar karena penggarapannya amat sederhana.
b.      Batu Sedang, disebut demikian karena produk batu yang dibuat sudak tidak sekasar sebelumnya tapi belum juga dapat disebut halus.
c.       Batu Halus, disebut demikian karena produk batuny yang dibuat sudah sangat halus karena diasah pada setiap permukaannya.
Zaman Logam, yaitu suatu masa ketika manusia prasejarah sudah mengenal pengedoran logam ketika ilmu dan teknologi sudah semakin maju. Zaman logam secara umum dibagi dalam tiga periode yaitu Tembaga, Perunggu dan Besi.
Selain dari segi peralatan perkembangan peradaban manusia dapat pula dilihat dari segi kehidpan bermata pencaharian. Awalnya manusia bergantung sepenuhnya kepada alam, kemudian mengelola alam dan akhirnya mengendalikan alam. Oleh karena itu para ahli membaginya menjadi:
a.       Masa Berburu dan Mengembara
b.      Bercocok tanam dan beternak
c.       Bertukang dan spesialisasi kerja
d.      Industri
Atau dengan istilah lain disebut:
a.       Food Gathering
b.      Food Produksing
c.       Perundagian
Secara sosiopolitik, perdaban prasejarah dibagi dalam beberapa babakab/periode. Periode tersebut adalah:
a.       Mengembara
b.      Menetap/semi menetap (sedenter)
c.       Menetap permanen
d.      Membentuk desa/suku

Senin, 11 April 2011

Contoh soal Sejarah

  1. Masyarakat Indonesia pada masa perundagian telah mengenal aturan pembagian kerja, alasannya … .
    1. mereka telah hidup menetap
    2. merupakan masyarakat dengan kehidupan food gathering
    3. teknologi perundagian memerlukan keahlian khusus
    4. budaya undagi dapat diproduksi oleh masyarakat yang sudah maju
    5. hidup dalam kelompok suku

  1. Peristiwa yang disebut di bawah ini membuka kemungkinan bagi bangsa Eropa untuk meluaskan kolonialisme di nusantara ….
    1. jatuhnya Malaka oleh bangsa Portugis pada tahun 1511
    2. penaklukan Banten oleh VOC 1602
    3. pengambil alihan kekuasaan Belanda di Indonesia oleh Inggris
    4. perang atara Mataram dan VOC 1645
    5. perjanjian antara Mataram VOC 1678

  1. Sikap kesultanan Ternate mengizinkan bangsa Portugis mendirikan Benteng di wilayahnya dilatar belakani oleh keinginan untuk … .
    1. membendung kedatngan VOC diwilayahnya
    2. mencegah monopoli perdagangan EIC
    3. mengatasi persaingan dengan Tidore
    4. memperoleh bantuan keuangan dari Portugis
    5. mengusir bangsa Spanyol

  1. Berdasarkan peninggalan kebudayaan dan bahasa bangsa di Asia Tenggara berasal dari rumpun bangsa yang sama yaitu … .
    1. Melanesia
    2. Melayu Austronesia
    3. Mongoloid
    4. Melayu Polinesia
    5. Austromelayu

  1. Alasan Inggris menyerang Hindia Belanda terutama pulau Jawa pada 1811 adalah … .
    1. ingin merebut pusat rempah-rempah
    2. menguasai perdagangan beras
    3. Hindia Belanda menjadi bagian Perancis
    4. Hindia Belanda menyerang Bengkulu
    5. Hindia Belanda memblokade Singapura








  1. Dampak politik Pintu Terbuka yang diterapkan pemerintah colonial Belanda pada pertengahan abad 19 adalah … .
    1. Indonesia mulai dikenal dunia internasional
    2. Indonesia mengenal perdagangan internasional
    3. Rakyat mulai dibebani pajak
    4. Rakyat mengembangkan tanaman industri
    5. Indonesia menjadi ajang eksploitasi modal asing

  1. Pelaksanaan demokrasi liberal membawa perubahan diberbagai bidang kehidupan kecuali … .
    1. penyaluran aspirasi semakin terbuka
    2. banyak partai bermunculan
    3. kebebasan individu semakin terbuka
    4. kebijakan eknomi berpihak pada rakyat kecil
    5. terjadi konflik horizontal di antara pendukung parpol

  1. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga trampil di Hindia Belada,  pemerintah kolonial membuka sekolah kejuruan antara lain …
    1. MOSVIA
    2. AMS
    3. HIS
    4. MULO
    5. LYCEUM

  1. Pada 1808-1811 Indonesia dipeerintah oleh Daendels atas nama pemerintah Perancis dengan tugas pokoknya adalah … .
    1. memakmurkan perekonomian rakyat
    2. menjalankan system Tanam Paksa
    3. menyerang  Amangkurat I
    4. mengadakan perjanjian dengan Amangkurat
    5. mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris

  1. Tujuan utama Daendeles membangun  jalan pos Anyer Panarukan sepanjang 1000 km sebagai sarana … .
    1. kemajuan ekonomi rakyat
    2. mobilitas militer
    3. sarana lalu lintas umum
    4. memperindah pulau Jawa
    5. memenuhi kebutuhan rakyat

  1. Usaha bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan tidak hanya dilakukan dengan Organisasi tetapi juga melalui lembaga pemerintah kolonial yaitu … .
    1. Dewan Perwakilan Rakyat
    2. Volkraad
    3. Konstituante
    4. Parlemen di Belanda
    5. Jajahan kementrian





  1. Di bawah ini adalah beberapa factor eksternal yang mempenagruhi corak pergerakan nasional Indonesia kecuali … .
    1. Revolusi Cina dibawah Sun Yat Sen
    2. Gerakan Turki Muda dari Kemal Pasha
    3. Gerakan Nasional Philipina dibawah Yose Rizal
    4. Gerakan Nasionalisme India dibawah Mahatma Gandhi
    5. Revolusi kaum Bolsyevik di Rusia

  1. Faktor utama yang menyebabkan pesatnya perkembangan Syarekat Islam pada masa awal kemunculannya adalah … .
    1. adanya dukungan pemerintah kolonial
    2. adanya sentiment anti pedagang Cina
    3. tujuannya yang ingin memperbaiki ekonomi anggota
    4. masuknya ide sosialisme
    5. dipimpin oleh tokoh yang popular

  1. Semangat nasionalisme Indonesia ditandai oleh beberapa peristiwa di bawah ini kecuali … .
    1. pembentukan Budi Utomo
    2. perang Diponegoro
    3. pembentukan Sarekat Islam
    4. pelaksanaan Politik Etis
    5. sumpah Pemuda 1928

  1. Als Ike een Nederlander Was adalah artikel yang ditulis Suwardi Suryaningrat sebagai protes terhadap … .
    1. diselenggarakanya Culture stelsel
    2. pemilihan anggota Volksraad
    3. pemilihan anggota Gementeraad
    4. peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda
    5. peringatan 300 tahun VOC

  1. Perjuangan kemerdekaan Amerika Serika yang dipelopori oleh George Washington, Thomas Jefersoon dan James Madison 1776  dirumuskan dalam Deklaration of Independence yang berisi perjuangan untuk … .
    1. menghormati hak kebebasan untuk kebahagiaan
    2. mengusir Inggris dari Amerika
    3. mengembankan Liberlisme
    4. menciptakan perdamaian dunia
    5. memperjuangkan kemerdekaan umat manusia










  1. Paham sosialisme dalam perkembangannya terpecah menjadi dua yaitu demokrat dan komunis.  Salah satu prisnsip sosialisme adalah … .
    1. mencapai masyarakat sosialisme dengan evolusi
    2. distribusi dan konsumsi didasarkan pada kebutuhan
    3. milik perseorangan masih di perkenankan
    4. kerja menjadi dasar distribusi konsumsi
    5. kecakapan dan jasa menjadi dasar distribusi konsumsi

  1. Ketika Shogun dari keluarga Tokugawa mebuka Jepang untuk hubungan dengan dunia luar muncul pemberontakan yang dilakukan oleh Daimyo. Hal ini  disebabkan  para Daimyo menganggap Shogun telah … .
    1. bekerja sama dengan bangsa asing
    2. tunduk pada bangsa asing
    3. membebaskan bangsa asig masuk Jepang
    4. kurang mampu menghadapi bangsa asing
    5. hilangnya kewibawaan dimata bangsa asig

  1. Lembaga bentukan Jepang yang bertugas mengadakan penyelidikan untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia adalah … .
    1. PETA
    2. JAWA HOKOKAI
    3. HEIHO
    4. PPKI
    5. BPUPKI

  1. Inflasi yang sangat berat yang menimpa Indonesia pada awal kemerdekaan bersumber pada … .
    1. kas Negara yang kosong
    2. peredaran mata uang yang tak terkendali
    3. barang kebutuhan pokok yang menghilang
    4. pengeluaran Negara yang tak terkendali
    5. pemerintah Jepang memaksakan kehendak mengedarkan mata uang

  1. Sebelum Presiden Soekarno ditawan oleh pihak Belanda pada agresi Militer II Presiden memerintaha pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), dengan tujuan … .
    1. menjaga keutuhan Republik Indonesia
    2. memancing pasukan Belanda agar keluar dari wilayah RI
    3. memecah kekuatan pasukan Belanda
    4. melanjutkan pemerintahan Indonesia
    5. agar rakyat tidak kehilangan arah




  1. Yang ditunjuk sebagai pelaksana tugas Presiden ketika PDRI adalah … .
    1. Mohammad Hatta
    2. Muhammad Yamin
    3. Muhammad Nasir
    4. Syafrudin Prawiranegara
    5. Sutan Syahrir

  1. Dalam menyelesaikan pertikaian  antara Belanda dan Indonesia tentang Irian Barat, PBB membentuk suatu badan khusus bernama … .
    1. SEATO
    2. UNCI
    3. UNTEA
    4. UNAMET
    5. AFNEI

  1. Salah satu sebab memburuknya hubungan antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 1961 adalah … .
    1. pembentukan Maphilindo
    2. Malaysia mendukung Daud Bereureuh
    3. Pengakuan Indonesia atas kemerdekaan Singapura
    4. Pengakuan Inggris terhadapa kemerdekaan Brunei
    5. Rencana Inggris menata masa depan Kalimantan Utara

  1. Salah satu alas an utama dukungan Amerika Serikat terhadap pemberontakan PRRI Permesta adalah … .
    1. kebijakan nasionalisasi perusahaan minyak Amerika
    2. adanya kedekatan pemimpin PRRI dengan Amerika
    3. terbunuhnya pilot sipil Amerika di Ambon
    4. kedekatan Soekarno dengan PKI
    5. amerika ingin melindungi warganya

  1. Sebab utama pecahnya Perang Teluk II adalah … .
    1. Pendudukan Israel atas jalur Gaza
    2. Invasi Irak ke Quwait
    3. Penyerbuan Amerika ke Irak
    4. Perang Irak-Iran
    5. Penyerbuan Israel ke Palestina

  1. Munculnya upaya penyatuan Jerman disebabkan oleh … .
    1. keinginan rakyat Jerman Timur untuk bersatu kembali
    2. berakhirnya kekuasaan komunis di Jeman Timur
    3. terjadinya perubahan struktur di Eropa timur
    4. keinginan seluruh rakyat Jerman untuk bersatu
    5. keingin Jerman membentuk republic Jerman Bersatu.







  1. Tujuan dibentuknya BPUPKI adalah … .
    1. menagih janji kemerdekaan
    2. menjadikan Indonesia sebagai Negara Facis
    3. merumuskan tuntutan kemerdekaan pada Jepang
    4. mempelajari strategi militer
    5. mempersiapkan berbagai hal untuk kemerdekaan Indonesia

  1. Yang dipilih sebagai ketua BPUPKI adalah …. .
    1. Kasman Singodimejo
    2. Rajiman Wedyodiningrat
    3. Ki Bagus Sarkoro
    4. Sukarno
    5. Mohammad Hatta

  1. Pembukaan UUD yang menyatu dengan UUD 45 pada awalnya sebagai … .
    1. Piagam Pemuda 1928
    2. Piagam Budi Utomo 1908
    3. Piagam Sumpah Pemuda
    4. Piagam Jakarta
    5. Piagam Konggres Perempuan

  1. Berikut ini merupakan tujuan Negara Indonesia menurut Pembukaan UUD 45 kecuali … .
    1. melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia
    2. mencerdaskan kehidupan bangsa
    3. memajukan kesejahteraan umum
    4. membangun Negara yang demokratis
    5. melaksanakan ketertiban dunia

  1. BPUPKI dibubarkan pada 7 Agustus 45 dan diganti dengan PPKI yang diketuai oleh … .
    1. Soekarno
    2. Moh. Hatta
    3. Muh. Yamin
    4. Rajiman Wedyodiningrat
    5. Kasman Singodimeja

  1. Menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia, Sukarno-Hatta disingkirkan oleh sekelompok pemuda kesuatu tempat yaitu … .
    1. Bogor
    2. Kalijati
    3. Linggarjati
    4. Rengasdengklok
    5. Depok

  1. Berdasarkan proklamasi, yang dinyatakan merdeka adalah … .
    1. Negara Indonesia
    2. Bangsa Indonesia
    3. Republik Indonesia
    4. Sukarno-Hatta
    5. Rakyat Indonesia








  1. Diawal kemerdekaan Republik Indonesia dibagi menjadi 8 propinsi. Berikut adalah propinsi tersebut kecuali …. .
    1. Sumatra
    2. Sulawesi
    3. Kalimantan
    4. Jawa Tengah
    5. Irian

  1. Penetapan jabatan Perdana Menteri Indonesia berdasar UUD 45 adalah suatu penyimpangan. Perdana Menteri yang pertama kali diangkat dalam kerangka UUD 45 adalah … .
    1. Mohammad Hatta
    2. Mohammad Yamin
    3. Amir Syarifudin
    4. Ahmad Subarjo
    5. Sutan Syahrir

  1. Berdasarkan pengumuman pemerintah 23 Agustus 45 dibentuk badan baru sala satunya adalah partai politik sebagai partai Negara. Parpol tersebut adalah … .
    1. Masyumi
    2. Perhimpunan Indonesia
    3. Partai Nasional Indoenesia
    4. Budi Utomo
    5. Syarekat Islam

  1. Pada 5 Juli 1959 Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden. Berikut ini isi pokok dekrit kecuali … .
    1. pembubaran Dewan Konstituante
    2. pembentukan UUD baru
    3. pembatalan UUDS 50
    4. penggunaan UUD 45
    5. pembentuk DPA dan DPR Sementara

  1. Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 59 diberlakukan system Demokrasi Terpimpin dan menjadikan Pancasila sebagai landasan kebijakan khusussnya sila … .
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    5. 5





















  1. Kebijakan sentral pada masa Demokrasi terpimpin di Indonesia ada ditangan … .
    1. MPR
    2. DPR
    3. DPA
    4. BPK
    5. Presiden


  1. Konferensi Asia Afrika terselenggara pada masa cabinet … .
    1. Ali Sastro Amijoyo I
    2. Ali Sastro Amijoyo II
    3. Burhanudin Harahap
    4. Juanda
    5. Wilopo

  1. Hasil terpenting dari Konferensi Asia Afrika adalah … .
    1. Dasasila Banding
    2. Pancasila Bandung
    3. Piagam Asia Afrika
    4. Piagam perdamaian
    5. Bandung Charter

  1. Pemilu I sejak merdeka terselenggara pada tahun 1955 dengan dua hasil yang dituju yaitu memilih … .
    1. DPR dan Dewan Konstituante
    2. DPR dan Presiden
    3. Dewan Konstituante dan Presiden
    4. Presiden dan Menteri-menteri
    5. DPR dan DPD

  1. Era Orde Baru dimulai sejak … .
    1. Dekrit Presiden
    2. Pemilu 55
    3. Supersemar
    4. Jatuhnya Sukarno
    5. Malari

  1. Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahunan) diselenggarakan secara rutin dan konsisten selama Orde Baru dimulai sejak tahun … .
    1. 1966
    2. 1967
    3. 1968
    4. 1969
    5. 1970





MUHAMMADIYAH DAN PLURALISME AGAMA : Anjar Nugroho

Penelitian ini memfokuskan pembahasan pada sikap dan pemikiran Muhammadiyah terhadap pluralitas keagamaan di Indonesia. Sikap Muhammadiyah diamati dari perspektif sejarah bagaimana Muhammadiyah berinteraksi dan membangun kommitmen untuk berkompetisi secara sehat dengan berbagai agama di Indonesia. Sedangkan pemikiran Muhammadiyah tentang pluralisme diamati dari percikan pemikiran para tokoh Muhammadiyah dan sebuah buku Tafsir Tematik Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama yang disusun oleh Majlis Tarjijh dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah penelitian termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library re¬search. Sedangkan penelitian ini bersifat diskriptif. Dalam menyusun penelitian ini, pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan normatif (al-qur’an dan sunnah) dan sosiologis. Dan metode analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis induktif dan deduktif.
Setelah dilakukan pembahasan penelitian ini menyimpulkan bahwa Tajdid dan pembaharuan yang paling mendasar bagi Muhammadiyah adalah pandangan tentang larangan bertaqlid buta dan terbukanya kembali pintu ijtihad. Bukti terbukanya pintu ijtihad dalam Muhammadiyah adalah munculnya Kitab tafsir tematis Hubungan sosial antar umat beragama yang pola penafsirannya adalah dengan menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat dalam al-Qur’an yang berbicara masalah yang sama untuk dihimpun dan disusun sedemikian rupa kemudian diberi tema dan ditafsirkan (tafsir maudlu’i). Dan secara garis besar dalam kaitan hubungan antarumat beragama pada kitab tafsir tersebut , Muhammadiyah menggunakan pendekatan kompetitif, sebab kompetisi merupakan bukti kedewasaan dalam menghadapi perbedaan.

A. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu dihadapkan dengan fenomena pluralitas. Plutralitas warna kulit (kulit putih, kuning, hitam , sawo matang dan sebagainya. Pluralitas etnik (entik Cina, Arab, Jawa, Sunda, Banjar dan sebagainya). Pluralitas agama (Kristen-Katolik, Kristen Protestan, Islam, Hindu, Budha, Konghuchu, Tao dan sebagainya). Pluralitas bahasa (bahasa Inggris, bahasa Prancis, Jerman, Indonesia dan sebagainya).
Daftar “pluralitas” dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan. Yang hendak ditekankan di sini adalah bahwa isu pluralitas bukanlah “barang baru”. Membicarakan persoalahn pluralitas sekarang ini adalah ibarat “to put a new wine in the old bottle” (memasukkan minuman anggur yang baru dalam botol yang lama). Botolnya tetap itu-itu saja – dalam arti bahwa isu pluralitas adalah setua usia manusia dan selamanya akan ada-, hanya saja cara membuat minuman anggur bisa terus menerus berubah, sesuai dengan perkembangan tehnologi pembuatan minuman yang ada. Dalam kehidupan praktis sehari-hari – sebelum dicampuri dengan pertimbangan-pertimbangan atau kepentingan-kepentingan idiologis, ekonomis, sosial-politik, agama dan seterusnya-, umat manusia menjalani kehidupan yang bersifat pluralistik secara alamiah dan wajar-wajar saja, tanpa begitu banyak mempertimbangkan sampai pada tingkat “benar tidaknya atau bid’ah tidaknya” realitas pluralitas yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari (Abdullah, 2000 : 69).
Masyarakat yang pluralistik, seharusnya tidak hanya cirri khas masyarakat modern dewasa ini. Dalam pengalaman paling dini historisitas keberagamaan Islam era kenabian Muhammad, masyarakat yang pluralistik secara religi sudah terbentuk dan sudah pula menjadi kesadaran umum pada saat itu.Keadaan yang demikian sudah sewajarnya lantaran secara kronologis agama Islam memang muncul setelah terlebih dahulu didahului oleh berkembangnya agama Hindu, Budha, Kristen Katholik, Majusi, Zoroaster, Mesir Kuno maupun agama-agama yang lain.
Di tengah keragaman atau pluralitas keberagamaan pada masa kenabian Muhammad, tidaklah menghalangi beluai untuk mengembangkan sikap-sikap toletansi antar pemeluk agama atau kepercayaan yang berbeda. Bahkan, Muhammad pernah suri tauladan yang sangat inspiring dihadapan para pengikutnya. Sejarah mencatat bahwa, Nabi pernah dikucilkan dan bahkan diusir dari tumpah darahnya (Makkah). Beliau terpaksa hijrah ke Madinah untuk beberapa lama dan kemudian kembali ke Makkah. Peristiwa itu dikenal dalam Islam dengan fathul Makkah. Dalam peristiwa yang penuh kemenangan ini, Nabi tidak menggambil langkah balas dendam kepada siapapun juga yang telah mengusirnya dahulu dari tanah kelahirannya. “Antum Tulaqa (kamu sekalian bebas)”, Begitu ucapan Nabi kepada mereka (Abdullah, 1999 : 73).
Peristiwa itu sangat memberi inspirasi dan memberi kesan yang mendalam terhadap penganut agama Islam di mana pun mereka berada. Nabi telah emmberi contoh kongkret dan sekaligus contoh pemahaman dan penghayatan pluralisme keagamaan yang amat riel dihadapan umatnya. Tanpa didahului polemik pergumulan filosofis-teologis, Nabi tidak menuntut “truth claim” atas nama dirinya maupun atas nama agama yang dianutnya. Dia mengambil sikap agree in disagreement (al-Qur’an s. al-Takatsur : 1-8), dia tidak memaksakan agamanya untuk diterima oleh orang lain (al-Qur’an s. al-Kafirun : 1-6).
Etika Islam, sebagaiman telah disebut oleh George F. Hourani, adalah sifat “Ethical Voluntarism”, sebenarnya mengandung dimensi historisitas keteladanan (uswatun hasanah) yang terpancar dari perilaku Nabi Muhammad SAW. Etika pemihakan terhadap fundamental values kemanusiaan sangat dijunjung tinggi oleh penganut Islam. Memihak kepada fundamental values, aturannya, berarti menepikan segala macam sekat-sekat teologis yang selama ini telah terkristal dan terbentuk oleh perjalanan hidup sejarah kemanusiaan itu sendiri (Hourani, 1985 : 57, 59). Dalam perspeksif Islam, konsepsi etika keberagamaan, khususnya yang menyangkut hubungan antar umat beragama, adalah bersifat sangat terbuka dan dialogis. Panggilan untuk mencari titik temu (kalimatun sawa’) antar berbagai penganut ahli kitab adalah tipikal model panggilan al-Qur’an.
Menciptakan kondisi ideal untuk mencapai titik temu antar umat beragama adalah merupakan kepentingan semua pihak dan tanggung jawab bersama. Beban itu sepenuhnya tidak dapat dipikul oleh umat Islam atau Protestan atau oleh pihak-pihak umat Katholik dan lain-lain secara sepihak. Hal demikian juga terjadi dalam sejarah kehidupan Nabi terutama yang terkait langsung dengan deklarasi “konstitusi Madinah” yangb oleh Robert N. Bellah disebut sebagai deklarasi “modern” yang muncul sebelum peradaban manusia yang benar-benar modern timbul (Bellah, 1976 : 150-152).
Dalam perspektif Islam, dasar-dasar untuk hidup bersama dalam masyarakat yang pluralistik secara religius, sejak semula, memang telah dibangun di atas landasan normative dan historis sekaligus. Jika ada hambatan atau anomaly-anomali di sana sini, penyebab utamanya bukan karena inti ajaran Islam itu sendiri yang bersifat intoleran atau eksklusif, tetapi lebih banyak ditentukan dan dikondisikan oleh situasi historis-ekonomis-politis yang melingkari komunitas umat Islam di berbagai tempat. Kompetisi untuk menguasai sumber-sumber ekonomi, hegemoni kekuasaan, jauh lebih mewarnai ketidak-mesraan hubungan antar pemeluk beragama dan bukannya oleh kandungan ajaran etika agama itu sendiri (Abdullah, 1999 : 75).
Nurcholish Madjid, memberi penilaian tersendiri tentang masalah pluralisme agama di Indonesia. Dia menilai kegagalan umat dalam menangkap pesan toleransi dalam ajaran agama dikarenakan mereka menjadikan pluralisme hanya sebagai faham kemajemukan, keanekaragaman, yang terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi. Nurcholis juga tidak sependapat ketika pluralisme dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at buy). Dia menambahkan, pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya (Nurcholish, 1999 : 62).
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam amar ma’ruf nahi munkar di Indonesia, secara realistic tentu adalah salah satu institusi yang berada dalam lingkup pluralitas masyarakat sebagaimana yang tergambar di atas. Ketika melihat fenomena kecenderumangan umat yang intoleran dan eksklusif dalam kehidupan keberagamaannya, maka hal itu adalah wilayah garapan Muhammadiyah sebagai salah satu gerakan pembaharuan di Indonesia.
Keterlibatan Muhammadiyah dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan antar umat beragama, dapat dipilahkan menjadi dua persoalan besar. Pertama, Muhammadiyah harus dapat merumuskan landasan normative yang berdasarkan sumber-sumber utama ajaran agama Islam yakni al-Qur’an dan as-Sunnah bagaimana hubungan antar umat beragama harus terbentuk dan terjalin. Kedua, Muhammadiyah juga dituntut untuk dapat membuat kebijakan-kebijakan strategis berkaitan dengan hubungan sosial antar umat beragama. Ketiga dua bidang garap ini tidak tersentuh, maka boleh dikatakan Muhammadiyah tidak perlu dipersoalkan lagi kedudukannya sebagai kekuatan pembaharu umat (society reformation force).
Walaupun memang diakui bahwa dialog dan kerukunan antar umat beragama mesih merupakan barang mewah yang tidah hanya di Indonesia, tetapi juga di banyak negara di dunia ini. Di Timur Tengah, India, Burma, Irlandia, belum lagi di negara-negara bekas Uni Soviet dan Yoguslavia. Ketegangan antar umat beragama masih sangat tampak menghiasi berita surat kabar (Abdullah, 1999 : 76). Sederetan persoalan itu adalah sekian masalah hubungan antar umat beragama yang harus mendapat perhatian dari semua pihak khususnya adalah lembaga-lembaga dan tokoh-tokoh keagamaan.
Untuk itu, Muhammadiyah telah memulai dengan merumuskan aspek-aspek normative ajaran Islam untuk mengatur lalu lintas interaksi antar umat beragama, khususnya dalam interaksi sosial kemasyarakatan. Dan dari kepentingan itu lahirlah sebuah buku tafsir maudlu’I yang digagas dan dirumuskan oleh majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam dengan tema sentral “Hubungan Sosial Antar Umat Beragama”.
Dan penelitian ini diarahkan kepada studi terhadap buku tafsir tersebut dan mencari pokok-pokok pikiran yang berkembang di Muhammadiyah untuk mencoba memposisikan institusi Muhammadiyah di tengah-tengah eskalasi sosial-budaya masyarakat yang plural.

B. PERUMUSAN MASALAH
Yang menjadi masalah pokok dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimana metodologi ijtihad Muhammadiyah dalam menghadapi persoalan baru dan bagaimana buku Tafsir Tematik Hubungan Sosial Antar Umat Beragama tersebut mengupas dan menyusun kerangka pikirnya tentang gagasan toleransi dan interaksi antar umat beragama ?
2. Bagaimana Muhammadiyah memposisikan diri di tengah-tengah keragaman agama dan kepercayaan dikaitkan dengan peran tajdid (pembaharuannya) ?

C. TINJAUAN PUSTAKA
Dalam penelitian ini, penulis menjadikan buku tafsir maudhu’i yang diterbitklan oleh majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang berjudul “Hubungan Sosial antar Umat Beragama” sebagai kitab kunci dalam focus penelitian ini. Dan dalam buku itu tergambar secara jelas bagaimana sebebarnya pemikiran Muhammadiyah tentang hubungan antar umat beragama, sehingga bisa menggambarkan pula bagaimana Muhammadiyah melihat tantangan pluralisme keberagamaan dan mudah untuk selanjutnya memetakkan kecenderungan pemikiran Muhammadiyah.
Disamping buku pokok itu, tentu penulis melengkapinya dengan berbagai data dari wawancara dengan tokoh-tokoh Muhammadyah yang berkompeten dan representatif. Salah satu tokoh yang menurut rencana penulis akan dikorek datanya adalah Prof. Dr. Amin Abdullah, yang kala itu adalah ketua majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dan tak kalah menarik dari sosok Amin Abdullah adalah buku-bukunya yang sudah terbit beberapa buah yang dalam setiap isi bukunya tertuang konsepsi kokoh tentang pluralisme dan toleransi antar umat beragama. Buku-bukunya itu adalah antara lain; Studi Agama : Normativitas atau Historisitas ? ; Falsafah kalam di Era Postmodernisme; dan Dinamika Islam Kultural : Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer.
Disamping Amin Abdullah, ada juga seorang tokoh cendekiawan muslim yang telah banyak menelorkan gagasan-gagasannya tentang pluralisme dan toleransi, yakni Prof Dr. Nurcholish Madjid. Gagasan-gagasan itu tertuang dalam buku-bukunya yang menjadi ajuan juga dalam penelitian ini, diantaranya : Islam Doktrin dan Peradaban; dan Cendekiawan dan Relegiusitas Masyarakat.
Buku-buku yang membahas tentang pemikiran Muhammadiyah antara lain : Muhammadiyah dalam Kritik; Rekonstruksi Gerakan Muhammadiyah pada Era Multiperadaban dan Dialog Pemikiran Islam dalam Muhammadiyah. Buku-buku tersebut sedikitnya memberi gambaran rancang bangun epistimologis keilmuan Muhammadiyah yang dapat dijadikan sumber rujukan dalam membaca kecenderungan pemikiran Muhammadiyah. Kalau toh itu belum cukup (baca : representatif) untuk menggambarkan kerangka perfikir Muhammadiyah, paling tidak dari sanalah wacana Muhammadiyah dibangun.
Disamping penulis menggunakan buku-buku di atas, penulis juga menghadirkan buku-buku karya-karya ilmuwan Barat , diantaranya Robert N. Bellah, dan Goerge F. Hourani yang bukunya berjudul Beyond Belief : Essay on Religion in Post-Tradisional World dan Reason and Tradition in Islam Ethics.

D. METODE PENELITIAN
Adapun metode yang dipakai dalam penyusunan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis dan sifat penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah penelitian termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library re¬search), yaitu menganalisis muatan isi dari literatur-literatur yang terkait dengan penelitian.
Sedangkan penelitian ini bersifat diskriptif, yakni penyusun berusaha menggambarkan obyek penelitian, yaitu pemikiran dalam buku Hubungan Sosial antar Umat Beragama dan secara umum pemikiran Muhammadiyah yang berkaitan dengan masalah toleransi, pluralisme dan hubungan antar umat beragama.
2. Pengumpulan data
Untuk memperoleh data tentang pemikiran dalam buku Hubungan Sosial antar Umat Beragama dan pemikiran Muhammadiyah yang berkaitan dengan masalah toleransi, pluralisme dan hubungan antar umat beragama, penyusun menggunakan sumber-sumber primer berupa buku-buku dan makalah-makalah yang ada relevansinya dengan penyusunan penelitian ini, dan sumber-sumber sekunder berupa buku-buku, kitab-kitab, jurn¬al-jurnal yang terkait.
3. Pendekatan yang digunakan
Dalam menyusun penelitian ini, pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan normatif (al-qur’an dan sunnah) dan sosiologis.
Pendekatan normatif untuk menyelesaikan paparan-paparan kritis pada muatan-muatan pemikiran dalam buku Hubungan Sosial antar Umat Beragama dan pendekatan sosialogis untuk menyelesaikan masalah tentang bagaimana memetakan Muhammadiyah masalah toleransi, pluralisme dan hubungan antar umat beragama di Indonesia.
4. Metode analisis data
Dalam menyusun penelitian ini, metode analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis induktif dan deduktif

E. Pembahasan
1. Gerakan Tajdid Muhammadiyah
Dengan memperhatikan dan mencermati berbagai sorotan terhadap pemikiran keagamaan dan keislaman dalam Muhammadiyah selama sepuluh tahun terakhir Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam pimpinan Pusat Muhammadiyah menganggap bahwa sudah mendesak waktunya bagi gerakan pembaharuan pemikiran Islam di tanah air ini untuk memperhatikan dua dimensi wilayah keagamaan, yaitu wilayah religious practical guidance (fatwa dan tuntutan keagamaan secara praktis) dan juga wilayah pemikiran keagamaan (religious thought) yang lebih terkait dengan visi, gagasan, wawasan, diskursus, wacana, nilai-nilai fundamental dan sekaligus analisis akademis.
Jika sisi pertama bersifat mengikat (sebagaimana umat Islam terikat kepada aturan-aturan dan norma-norma ibadah mahdlah), sisi kedua tidak perlu mengikat. Sisi kedua lebih merupakan wacana, dialog atau diskursus yang membuka visi, wawasan, gagasan dan sensitivitas – yang sudah barang tentu tidak mesti harus didahului oleh kepustusan Majlis Tarjih yang mengikat – serta lebih menoonjolkan aspek analisis akademis terhadap tata nilai, pandangan hidup dan wilayah moralitas publik.
Wawasan pengembangan pemikiran Islam di lingkukan persyarikatan Muhammadiyah pasca Muktamar Banda Aceh 1995 mesih tetap mengacu kepada hubungan timbal balik yang kritis antara “normativitas” wahyu dan “historisitas” pemahamannya, baik era klasik, skolastik, modern dan lebih-lebih era modern tingkat lanjut. Yang menjadi titik tekan telaah dan pengembangan pemikiran keagamaan dan keislaman dalam Muhammadiyah adalah historisitas pemikiran keagamaan Islam dalam menghadapi berbagai isu dan perkembangan keilmuan, kebudayaan dan keagamaan kontemporer dengan tetap mengacu kepada normativitas wahyu yang bersifat rahmatan lil ‘alamin dan syifa’ lima fi as-sudur.
Dalam spekturum perspektif tersebut Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam periode 1995 – 2000 menganggap perlu adanya pemekaran wilayah bidang telaah dan kajian keagamaan dan keislaman. Salah satu dari kesekian butir program pengembangan pemikiran keislaman dalam Muhammadiyah adalah bidang pengembangan tafsir.
Adalah Imam Abu Hanifah yang pernah menyampaiakn bahwa dia membaca al-Qur’an selalu disertai dengan pemahaman yang “baru”. Bukan mushaf al-Qur’an yang baru, melainkan pemahaman seseorang terhadap al-Qur’an diharapkan selalu baru, karena disebabkan oleh pengaruh perbedaan latar belakang pendidikan penulis dan pembacanya, oerbedaan usia, perbedaan tantangan cultural, kelengkapan alat-alat laboratorium serta perkembangan temuan-temuan teori dan metodologi baru dalam ilmu-ilmu kealaman, budaya, sosial dan agama. Dalam bahasa pendekatan hermeneutik sekarang, jenis pembacaan terjhadap teks-teks keagamaan dan keislaman seperti itu dinamakan al-Qira’ah al-muntijah.
Senafas dan sealur dengan itu, Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam juga dituntut oleh masyarakat untuk mulai memikirkan pengembangan tafsir al-Qur’an secara tematis yang lebih mencerminkan semangat perkembangan zaman. Bukankan karya-karya besar kitab tafsir terdahulu seperti Tafsir at-Tabari, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir az-Zamakhsyari, Tafsir al-Baidlawi, Tafsir jalalain dan juga tafsir Muhammad Abduh (Tafsir al-Manar) dan tafsir Sayyid Qutb (Fi Zilal al-Qur’an) juga digerakkan dan dimotori oleh semangat dan tantangan jaman yang baru dan berbeda? Untuk era kontemporer, dirasakan perlunya sebuah tafsir al-Qur’an tematis dengan mempertimbangkan dan memperhatikan masukan-masukan dari berbagai pendekatan disiplin keilmuan, antara lain, ilmu-ilmu sosial (al-ulum al-ijtima’iyyah), pendekatan ilmu-ilmu kelalaman (al-‘ulum at-tabi’iyyah) dan ilmnu-ilmu budaya dan kemanusiaan (al-‘ulum al-insaniyyah as-saqafiyyah), disamping ilmu-ilmu ketuhanan (al-‘ulum al-ilahiyyah) seperti yang biasa dijumpai selama ini. Dari sinilah persyarikatan Muhammadiyah kemudian mencoba sebagai langkah awal menyusun tafsir tematis dengan judul Hubungan Sosial Antar Umat Beragama.
Secara umum, dalam ilmu tafsir al-Qur’an, tafsir tematis ada dua pola. Pola pertama, memilih suart tertentu dari al-Qur’an untuk ditafsirkan secara lengkap dengan anggapan bahwa satu surat di dalam al-Qur’an itu meskipun berbicara tentang banyak hal tetapi keseluruhannya merupakan satu gagasan sentral dan satu kesatuan tematis. Konse[ tafsit tematis ini telah sejak lama dikemukakan oleh para ulama Islam di zaman lampau seperti asy-Syatibi (w. 790/1388), misalnya, yang menyatakan bahwa satu surat meskipun berisi banyak makna (banyak masalah), namun keseluruhannya berpangkap pada satu tema pokok. Ia mencontohkan dengan surat al-Mu’minun yang diwahyukan menyangkut satu masalah meskipun di dalamnya terdapat berbagai pembicaraan pokok surat tersebut menurut asy-Syatibi adalah seruan untuk menyembah Allah (Asy-Syatibi, 1431 H, III : 249-54).
Pola kedua adalah menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat dalam al-Qur’an yang berbicara masalah yang sama untuk dihimpun dan disusun sedemikian rupa kemudian diberi tema dan ditafsirkan. Sesungguhnya apabila orang berbicara tetang tafsir tematis, tafsir jenis kedua inilah yang lazim digunakan.

2. Muhammadiyah dan Pluralitas Agama
Semenjak awal pertumbuhannya, Muhammadiyah selalu dihadapkan dengan realitas sosial keagamaan yang kompleks. Pada awal pertumbuhannya itu, setidaknya ada dua persoalan sosial-keagamaan yang secara signifikan mempengaruhi Muhammadiyah dalam menentukan visi dan dinamikanya pada masa-masa berikutnya.
Pertama, Muhammadiyah dihadapkan pada persoalan autentisitas dalam paham dan praktik keberagamaan masyarakat Islam. Sebagai wilayah yang berjauhan dengan umat Islam (Timur Tengah), banyak paham dan praktik keberagamaan uat Islam bercampur baur dengan tradisi yang berkembang sebelum kedatangan Islam di bumi Nusantara.
Menghadapi realitas semacam itu, Muhammadiyah melakukan purifikasi, yakni memurnikan kembali paham dan praktik keberagamaan umat Islam. Dalam pandangan Muhammadiyah semua praktik keberagamaan umat Islam harus merefleksikan tuntutan autentisitas al-Qur’an dan as-Sunnah. Muhammadiyah relatif berhasil menegakkan supremasi Islam autenti ini. Ini dibuktikan dari perkembangan kontituensi Muhammadiyah yang merambah di luar wilayah kelahiran Muhammadiyah, Yogyakarta.
Persoalan sosial-keagamaan kedua yang dihadapi oleh Muhammadiyah adalah penetrasi kalangan misionaris Kristen yang mendapatkan dukungan kuat dari penguasa kolonial Belanda ketika itu. Pergumulan dalam menghadapi penetrasi itu diungkapkan secara mendalam oleh Alwi Shihab dalam disertasi doktornya, Membendung Arus : Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (mIzan, 1998). Dalam disertasi Shihab itu, paling tidak ada dua yangmenarik. Pertama, Konstruksi teoritik shihab tentang motivasi pendirian Muhammadiyah. Yakni, disamping pendirian Muhammadiyah dimaksudkan untuk melakukan purifikasi, juga dalam rangka membendung arus dari kalangan misionaris Kristen dalam menyebarkan agamanya.
Ketiga, dalam rangka membendung arus itu, Muhammadiyah, terutama pada zamannya Ahmad Dahlan, alih-alih melakukan tidakan konfrontatif yang bisa mengakibatkan terjadinya kekerasan antar umat beragama seperti yang mengemuka balakangan ini. Muhammadiyah ternyata lebih memilih cara-cara kompentitif. Dan menarik lagi Muhammadiyan malah mengadaptasi cara-cara yang dilakukan oleh kalangan Kristen, misalnya dalam bidang pendidikan, Berbeda dengan kalangan Muslim tradisional, yang lebih menekankan pada fungsi koservatif terhadap institusi pendidikan yang didirikannya, Muhammadiyah dengan penuh kesadaran melakukan modernisasi pendidikan, seperti yang dilakukan oleh kalangan Kristen. Tentu saja, fungsi konservatif pendidikan tidak diabaiakan. Oleh karena itu, disamping memberikan mata pelajaran umum, yang “sekuler”, institusi pendidikan Muhammadiyah juga memberikan pelajaran agama. Cara yang ditempuh oleh Muhammadiyah itu, ternyata memberikan bekas yang kuat sampai sekarang ini. Meskipun akhir-akhir ini Muhammadiyah banyak menuai kritik, baik dari warga Muhammadiyah sendiri maupun dari publik luar, institusi sosial yang didirikan Muhammadiyah, terutama pendidikan dan rumah sakit, relatif memiliki daya tahan yang kuat.
Dua persoalan sosial-keagamaan yang dihadapi oleh Muhammadiyah itu, muaranya adalah pluralitas terutama yang bercorak keagamaan. Secara internal, Muhammadiyah berhadapan dengan muslim tradisional yang lebih akomodatif terhadap tradisi local. Sedangkan secara eksternal, Muhammadiyah dengan kalangan Kristen. Dari perspektif pluralisme, respon Muhammadiyah dalam menghadapi lingkungan sosial-keagamaan itu menari untuk diapresiasi secara kritis.
Apresiasi cultural terhadap keberhasilan Muhammadiyah dalam meretas persoalan sosial-keagamaan di atas sudah banyak dilakukan. Beberapa diantaranya misalnya yang diberikan oleh james Peacok dan Mark R. Eoodward. Setelah melakukan studi etnografis secara mendalam, keduanya berkesimpulan bahwa, daya tahan dan dinamika Muhammadiyah terletak pada sikap puritannya dalam rangka menegakkan Islam autentik. Namun begitu, disamping mencatat sejumlah sukses, yang oleh Jalaluddin Rakhmad (1991) disebut dengan aktiva neraca gerakan Muhammadiyah, Muhammadiyah juga melahirkan sejumlah pasiva, justru karena jalur puritan dan modern yang ditempuhnya itu.
Semua gerakan keagamaan yang beridioligi modern, seperti Muhammadiyah, pada umumnya terbius oleh narasi-narasi agung seperti rasionalisme. Dalam dunia keagamaan, praksis rasionalisme adalah rasionalisme dan demistifikasi tam dan praktik keberagamaan yang dianggap menyimpang dari tuntutan ajaran yang autentik. Dalam Muhammadiyah, praksis ini tampak demikian nyata pada tindakan Muhammadiyah yang kurang toleran terhadap tradisi local, meskipun jika dilakukan pelacakan secara arkeologis, tradisi itu sebenarnya mempunyai kaitan dengan sejaran Islam yang paling awal.
Lalu apa pasivanya? Kuntowijoyo (1998), seorang ilmuwan sosial Muhammadiah par excellence, memberikan kritik terbuka, jernih dan jujur terhadap Muhammadiyah. Kritiknya, Muhammadiyah sekarang ini mengidap penyakit idiocracy (kekuasaan cirri khas) sehingga penampilannya terkesan kaku. Kuntowijoyo memberikan contoh penyakit cultural yang dihadapi Muhammadiyah, seperti sikap sebagian warga Muhammadiyah yang alergi terhadap tradisi budaya dari komunitas muslim lainnya, hanya karena tradisi itu bukan milik “Muhammadiyah”. Maka tidak mengherankan, Muhammadiyah dituding sebagai gerakan anti symbol. Dengan sikap yang demikian, Muhammadiyah tidak saja mengalami kekeringan budaya,. Dalam konteks interaksi antar umatIslam, Muhammadiyah dengan mudahnya melakukan apa yang dalam teori sosiologi disebut dengan pelabelan (labeling), yakni menganggap tradisi bi\udaya kelompok lain sebagai sebuah penyimpangan, yang oleh kalangan Muhammadiyah disebut dengan bid’ah. Bisa jadi, ketegangan antara kalangan Muhammadiyah dengan kelompok Muslim tradisional, disebabkan oleh labelisasi itu. Sampai saat ini, kedua kubu itu terkesan sulit disinergikan. Dalam politik misalnya, tidak dapat dipungkiri ketegangan itu terkesan transparan.
Pendekatan kompetitif yang dipilih oleh Muhammadiyah dalam menghadapi pluralitas eksternal seperti ditulis di muka, merupakan pilihan yang tepat. Sebab kompetisi merupakan bukti kedewasaan dalam menghadapi perbedaan. Konflik sosial biasanya terjadi jika antara kelompok yang satu dengan yang lainnya tidak ada kesetaraan. Dalam posisi sosial semacam itu, biasanya berkecambah perasaan superioritas bagi kelompok yang memiliki posisi sosial tinggi, sebaliknya, perasaan inferioritas bagi kelompok yang memiliki posisi yang rendah. Dalam posisi superior-inferior sangat mudah menimbulkan ketegangan dan pertentangan, manakala tidak bisa diciptakan satu ruang dalam masing-masing kelompok saling berkompetisi secara sehat.

3. Gagasan-gagasan dalam Tafsir Tematik Tentang Hubungan Sosial Antar Umat Beragama
Dalam buku Tafsir Tematik Hubungan Sosial Antar Umat Beragama terdapat beberapa prinsip hubungan antar umat beragama yang dapat ditelusuri dalam al-Qur’an, yaitu pengakuan terhadap adanya pluralitas komunitas agama dan berlomba dalam berbuat kebajikan, koeksistensi damai. Serta keadilan dan perlakuan yang sama (Tarjih, 2000, 1).
Dalam menafsirkan al-Qur’an dalam rangka menyelediki kemungkinan mengenahi ada atau tidaknya konsep pluralisme agama dalam kitab suci ini. Hasilnya adalah bahwa terdapat beberapa ayat yang bisa difahami sebagai pengakuan terhadap adanya pluralitas umat beragama dan sebagai konsekwensinya dalam konteks umat beragama yang beragama itu al-Qur’an memberi bimbingan agar berlomba dan berkompetisi dalam kebaikan.
Pada dasarnya dalam tafsir tematis (maudhu’i) tidak perlu dilakukan annalisis kosa kata yang merupakan ciri tafsir tahlili. Dalam tafsir tematis kesimpulan mengenai suatu gagasan ditarik melalui induksi tematis dari keseluruhan ayat yang relevan dengan tema yang sedang dibicarakan. Namun dalam beberapa kasus analisis semacam itu tidak dapat dielakkan juga karena tema yang diselidiki muncul dari kata kunci.
Dalam buku tafsir tematik itu dikemukakan adanya kata kunci yakni wijhah yang terdapat dalam permulaan ayat tadi. Penggalan awal ayat pertama li kullin wijhatun huwa muwalliha, secara harfihah diterjemahkan “dan masing-masing mempunyai kiblat yang kepadanya ia menghadap. Otoritas tafsir zaman klasik pada umunya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata masing-masing (kullin) dalam penggalan ayat terasebut adalah masing-masing umat beragama atau masing-masing komunitas agama (ahl adyan, ahl al-millah). Karenanya Departemen Agama RI menterjemahkan penggalan ayat tersebut dengan Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya.




Dan masing-masing mempunyai kiblat yang ia menghadap kepadanya; maka berlom-lombalah kamu (dalam berbuat) kebikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (al-Baqarah (2):148).






Dan kami telah menurunkan al-Quran kepadamu dengan membawa kebenaran, mengkonfirmasi dan menjadi batu ujian trhadap kitab-kitab yang ada sebelumnya; maka putuskan perkara mereka menurut apa yang Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki niscaya dijadikannya kamu satu umat (saja) , tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepada kamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah jualah tempat kamu sekalian kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang kamu perselisihkan itu. ( al-Maidah (5):48).

Penggalan awal ayat pertama li kullin wijhatun huwa muwalli^ha^ secara harfiah terjemahnya adalah Dan masing-masing mempunyai kiblat yang kepadanya ia menghadap. Otoritas tafsir zaman klasik pada umumnya menyatakan bawa yang dimaksud dengan kata “masing-masing” (kullin) dalam penggalan ayat tersebut adlah masing-masing umat beragama atau masinng-masing komunitas agama (ahl al-adyan, ahl al-millah). Karenanya Departemen Agama RI dalam Al-Qur’an dan terjemahnya menerjemahkan penggalan ayat tersebut dengan Dan bagi tiap-tiap umat adaa kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Al-Thabari^ (w. 310/923) melaporkan sejumlah ahli tafsir klasik yang mengemukakan tafsir demikian ini, sepertIbn’Abbas (w. 68/ 687), Mujahid (w. 104/ 722), Al-Rabi^’ (w. 114 / 732), Al-Suddi^, dan Ibn Zaud (w. 183 / 798). 1 Al-Thabari^ sendiri dan oara penafsir sesudahnya mengikuti tafsir demikian. 2 Tetapi ada pula beberapa mufassir yang tidak jelas identitasnya yang menafsirkan “masing-masing” dalam ayat diatas sebagai masing-masingpenduduk negeri Muslim mempunyai arah dan posisi tertentu menghadap ke kiblat (Ka’bah). Selain itu ada pula tafsir yang menyatakan bahwa “masing-masing” dalam ayat di atas maksudnya masing-masing nabi. 3 Tafsir terakhir ini tidak jauh berbeda dengan tafsir pertama karena nabi mewakili suatu komunitas agama.
Mengenai kata huwa dalam penggalan di atas terdapat dua tafsir. Pertama, kata tersebut adalah kata ganti nama yang mereujuk kepada kata masing-masing umat beragama, sehingga ayat tersebut berbunyi seperti terjemahan yang dikutip di atas. Tafsir kedua menyatakan bahawa kata ganti nama itu merujuk kepada Tuhan, sehingga ayat itu berbunyi Dan masing-masing umat beragama mempunyai kiblat ke mana Dia (Allah) menghadapkan mereka.
Dengan pernyataan Al-Qur’an bahwa tiap-tiap komunitas beragama mempunyai kiblatnya yang menyimbulkan orientasi masing-masing kiranya dapat dilihat adanya pengakuan di dalam Al-Qur’an terhadap pluralisme agama. Hal ini bertambah tegas lagi dengan pernyataan dalam surat Al-Ma’idah 48 bawa masing-masing umat beragama memiliki praktek keagamaannya sendiri.
Secara keseluruhan ayat Al-Qur’an tang tersebut di dalam surat Al-Ma’idah 48 ini merupakan bagian di dalam suatu pasase panjang surat Al-Ma’odah (ayat 41-50) yang berbicara tentang pentingnya arti kiblat suci bagi masing-masing agama. Secara historis pasase ini turun dalam kaitannya dengan kasus segolongan orang Yahudi yang memanipulasi ketentuan hukum dalam kitab suci merek kemudian minta bembenaran dari Nabi Muhammad saw atas perbuatan tersebut. Dalam ayat 41 digambarkan pesan yang diberikan kepada utusan yang dikirim menghadap Nabi Muhammad bahwa jika kepada mereka oleh Nabi Muhammad diberikan keputusan sesuai dengan hasil manipulasi mereka, utusan itu diminta untuk menerimanya; dan jika tidak diberi keputusan yang sesuai dengan hasil manipulasi mereka, utusan itu diminta untuk berhati-hati. Ayat 42 berikutnya meminta Muhammad agar apabila bersedia memberi keputusan hukum kepada mereka hendaklah didasarkan kepad prinsip keadilan, tetapi Nabi Muhammad juga dibenarkan untuk menolak memberikan keputusan kepada orang-orang Yahudi itu.
Selanjutnya dalam buku tafsir tematik dibicarakan ayat-ayat yang berkaitan dengan menjaga hubungan baik dan menjalin kerjasama antar sesama umat beragama. Menjaga hubungan baik tercermin dalam saling menghargai dan tidak saling mencaci serta mengadakan dialog yang embangun dan bermanfaat bagi masing-masing pihak .





“Apabila kamu diberi penghormatan dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya atau balaslah penghormatan itu dengan yang sama. Sesungguhnya Allah selalu membuat perhitungan atas segala sesuatu. (an-Nisa’ : 86)







“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan melampui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat memandang baik perbuatan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat mereka kembali, lalu Dia memberitahukan kepada mereka apa yang dulu mereka kerjakan”. (al-An’am : 108)





“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab kecuali dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang dzalim diantara mereka, dan katakanlah, “Kami beriman dengan Kitab-Kitab yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu, dan kami hanya kepada-Nya berserah diri.” (al-‘Ankabut : 46)

Ayat-ayat di atas sesungguhnya amatlah berbeda dan sulit dikatakan memiliki tema yang sama. Satu-satunya hubungan antar ayat-ayat tersebut adalah bahwa masing-masing terkait dengan masalah menjaga hubungan baik antar umat beragama dalam aspeknya masing-masing. Ada tiga butir yang terkait dengan masalh menjaga hubungan baik antar umat beragama, yaitu mengucapkan salam, larangan memaki sesembahan antar agama yang berlainan dan berdiskusi dengan cara yang baik.
Ayat kedua dan ketiga mengajarkan agar umat Islam dapat membina saling pengertian yang baik degan umat dari agama lain, seperti dapat difahami darim pernyataan ayat, “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan melampui batas tanpa pengetahuan. (al-An’am : 108), dan “Janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang baik (al-Ankabut : 46). Membina saling pengertian yang baik dapat dilakukan dengan meningkatkan frekwensi dialog konstruktif untuk menjelaskan posisi masing-masing dan memahami posisi pihak lain. Berbagai teori dialog dikemukakan oleh para ahli dari manca negara (Knitter, 1995).
Ayat ke dua diatas (al-An’am : 108) jelas melarang Muslim untuk melakukan penghimnaan, pencacian dan penggunaan kata-kata yang menyinggung umat agama lain, tetapi menurut Q.S. al-Ankabut : 42 boleh berdiskusi secara baik dan bertukar pandangan mengenai pengalaman agama masing-masing.
Ayat ketiga memerintahkan supaya berdialog secara baik dengan orang-orang Ahlu Kitab, kecuali kepada mereka yang dzalim, maksudnya orang-orang yang menyatakan perang terhadap umat Islam (Ibid : 232). Kemudian umat Islam harus menjaleaskan posisi mereka mengenahi wahyu-wahyu Allah yang diturunkan kepada Ahli Kitab tersebut sebagai wahyu yang diakui dan bahwa mereka juga mengimani dan berserah diri kepada Tuhan yang sama yang mereka imani.

F. KESIMPULAN
Setelah dilakukan pembahasan dalam bab-bab sebelumnya, penelitian ini menyimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Tajdid dan pembaharuan yang paling mendasar bagi Muhammadiyah adalah pandangan tentang larangan bertaqlid buta dan terbukanya kembali pintu ijtihad, setelah sebelumnya dikatakan pintu ijtihad tertutup. Oleh karena itu, ijtihad merupakan dasar bagi pembaharuan di segala bidang
2. Secara garis besar metode ijtihad terbagi menjadi tiga , yakni (a) bayani (semantic), yaitu metode yang menggunakan pendekatan kebahasaan, (b) ta’lili (rasionalistik), yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan penalaran, (c) istislahi (filosofis), yaitu penetapan hukum yang menggunakan pendekatan kemaslahatan. Selain metode ijtihad, juga disebutkan pendekatan dan teknik yang digunakan. Pendekatan ijtihad terdiri atas at-tafsir al-ijtima’ al-ma’asyir (hermeneutic), at-tarikhiyah (historis), as-susiulujiyah (sosiologi) dan antrafulujiah (antropologi). Adapun tekniknya adalah ijma’, qiyas, maslahah mursalah dan urf.
3. Kitab tafsir tematis Hubungan sosial antar umat beragama mengikuti langkah-langkah tafsir diantaranya dengan menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat dalam al-Qur’an yang berbicara masalah yang sama untuk dihimpun dan disusun sedemikian rupa kemudian diberi tema dan ditafsirkan..
4. Pendekatan kompetitif yang dipilih oleh Muhammadiyah dalam menghadapi pluralitas eksternal seperti ditulis di muka, merupakan pilihan yang tepat. Sebab kompetisi merupakan bukti kedewasaan dalam menghadapi perbedaan. Konflik sosial biasanya terjadi jika antara kelompok yang satu dengan yang lainnya tidak ada kesetaraan. Dalam posisi sosial semacam itu, biasanya berkecambah perasaan superioritas bagi kelompok yang memiliki posisi sosial tinggi, sebaliknya, perasaan inferioritas bagi kelompok yang memiliki posisi yang rendah. Dalam posisi superior-inferior sangat mudah menimbulkan ketegangan dan pertentangan, manakala tidak bisa diciptakan satu ruang dalam masing-masing kelompok saling berkompetisi secara sehat