Total Tayangan Halaman

Senin, 11 April 2011

MUHAMMADIYAH DAN PLURALISME AGAMA : Anjar Nugroho

Penelitian ini memfokuskan pembahasan pada sikap dan pemikiran Muhammadiyah terhadap pluralitas keagamaan di Indonesia. Sikap Muhammadiyah diamati dari perspektif sejarah bagaimana Muhammadiyah berinteraksi dan membangun kommitmen untuk berkompetisi secara sehat dengan berbagai agama di Indonesia. Sedangkan pemikiran Muhammadiyah tentang pluralisme diamati dari percikan pemikiran para tokoh Muhammadiyah dan sebuah buku Tafsir Tematik Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama yang disusun oleh Majlis Tarjijh dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah penelitian termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library re¬search. Sedangkan penelitian ini bersifat diskriptif. Dalam menyusun penelitian ini, pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan normatif (al-qur’an dan sunnah) dan sosiologis. Dan metode analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis induktif dan deduktif.
Setelah dilakukan pembahasan penelitian ini menyimpulkan bahwa Tajdid dan pembaharuan yang paling mendasar bagi Muhammadiyah adalah pandangan tentang larangan bertaqlid buta dan terbukanya kembali pintu ijtihad. Bukti terbukanya pintu ijtihad dalam Muhammadiyah adalah munculnya Kitab tafsir tematis Hubungan sosial antar umat beragama yang pola penafsirannya adalah dengan menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat dalam al-Qur’an yang berbicara masalah yang sama untuk dihimpun dan disusun sedemikian rupa kemudian diberi tema dan ditafsirkan (tafsir maudlu’i). Dan secara garis besar dalam kaitan hubungan antarumat beragama pada kitab tafsir tersebut , Muhammadiyah menggunakan pendekatan kompetitif, sebab kompetisi merupakan bukti kedewasaan dalam menghadapi perbedaan.

A. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu dihadapkan dengan fenomena pluralitas. Plutralitas warna kulit (kulit putih, kuning, hitam , sawo matang dan sebagainya. Pluralitas etnik (entik Cina, Arab, Jawa, Sunda, Banjar dan sebagainya). Pluralitas agama (Kristen-Katolik, Kristen Protestan, Islam, Hindu, Budha, Konghuchu, Tao dan sebagainya). Pluralitas bahasa (bahasa Inggris, bahasa Prancis, Jerman, Indonesia dan sebagainya).
Daftar “pluralitas” dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan. Yang hendak ditekankan di sini adalah bahwa isu pluralitas bukanlah “barang baru”. Membicarakan persoalahn pluralitas sekarang ini adalah ibarat “to put a new wine in the old bottle” (memasukkan minuman anggur yang baru dalam botol yang lama). Botolnya tetap itu-itu saja – dalam arti bahwa isu pluralitas adalah setua usia manusia dan selamanya akan ada-, hanya saja cara membuat minuman anggur bisa terus menerus berubah, sesuai dengan perkembangan tehnologi pembuatan minuman yang ada. Dalam kehidupan praktis sehari-hari – sebelum dicampuri dengan pertimbangan-pertimbangan atau kepentingan-kepentingan idiologis, ekonomis, sosial-politik, agama dan seterusnya-, umat manusia menjalani kehidupan yang bersifat pluralistik secara alamiah dan wajar-wajar saja, tanpa begitu banyak mempertimbangkan sampai pada tingkat “benar tidaknya atau bid’ah tidaknya” realitas pluralitas yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari (Abdullah, 2000 : 69).
Masyarakat yang pluralistik, seharusnya tidak hanya cirri khas masyarakat modern dewasa ini. Dalam pengalaman paling dini historisitas keberagamaan Islam era kenabian Muhammad, masyarakat yang pluralistik secara religi sudah terbentuk dan sudah pula menjadi kesadaran umum pada saat itu.Keadaan yang demikian sudah sewajarnya lantaran secara kronologis agama Islam memang muncul setelah terlebih dahulu didahului oleh berkembangnya agama Hindu, Budha, Kristen Katholik, Majusi, Zoroaster, Mesir Kuno maupun agama-agama yang lain.
Di tengah keragaman atau pluralitas keberagamaan pada masa kenabian Muhammad, tidaklah menghalangi beluai untuk mengembangkan sikap-sikap toletansi antar pemeluk agama atau kepercayaan yang berbeda. Bahkan, Muhammad pernah suri tauladan yang sangat inspiring dihadapan para pengikutnya. Sejarah mencatat bahwa, Nabi pernah dikucilkan dan bahkan diusir dari tumpah darahnya (Makkah). Beliau terpaksa hijrah ke Madinah untuk beberapa lama dan kemudian kembali ke Makkah. Peristiwa itu dikenal dalam Islam dengan fathul Makkah. Dalam peristiwa yang penuh kemenangan ini, Nabi tidak menggambil langkah balas dendam kepada siapapun juga yang telah mengusirnya dahulu dari tanah kelahirannya. “Antum Tulaqa (kamu sekalian bebas)”, Begitu ucapan Nabi kepada mereka (Abdullah, 1999 : 73).
Peristiwa itu sangat memberi inspirasi dan memberi kesan yang mendalam terhadap penganut agama Islam di mana pun mereka berada. Nabi telah emmberi contoh kongkret dan sekaligus contoh pemahaman dan penghayatan pluralisme keagamaan yang amat riel dihadapan umatnya. Tanpa didahului polemik pergumulan filosofis-teologis, Nabi tidak menuntut “truth claim” atas nama dirinya maupun atas nama agama yang dianutnya. Dia mengambil sikap agree in disagreement (al-Qur’an s. al-Takatsur : 1-8), dia tidak memaksakan agamanya untuk diterima oleh orang lain (al-Qur’an s. al-Kafirun : 1-6).
Etika Islam, sebagaiman telah disebut oleh George F. Hourani, adalah sifat “Ethical Voluntarism”, sebenarnya mengandung dimensi historisitas keteladanan (uswatun hasanah) yang terpancar dari perilaku Nabi Muhammad SAW. Etika pemihakan terhadap fundamental values kemanusiaan sangat dijunjung tinggi oleh penganut Islam. Memihak kepada fundamental values, aturannya, berarti menepikan segala macam sekat-sekat teologis yang selama ini telah terkristal dan terbentuk oleh perjalanan hidup sejarah kemanusiaan itu sendiri (Hourani, 1985 : 57, 59). Dalam perspeksif Islam, konsepsi etika keberagamaan, khususnya yang menyangkut hubungan antar umat beragama, adalah bersifat sangat terbuka dan dialogis. Panggilan untuk mencari titik temu (kalimatun sawa’) antar berbagai penganut ahli kitab adalah tipikal model panggilan al-Qur’an.
Menciptakan kondisi ideal untuk mencapai titik temu antar umat beragama adalah merupakan kepentingan semua pihak dan tanggung jawab bersama. Beban itu sepenuhnya tidak dapat dipikul oleh umat Islam atau Protestan atau oleh pihak-pihak umat Katholik dan lain-lain secara sepihak. Hal demikian juga terjadi dalam sejarah kehidupan Nabi terutama yang terkait langsung dengan deklarasi “konstitusi Madinah” yangb oleh Robert N. Bellah disebut sebagai deklarasi “modern” yang muncul sebelum peradaban manusia yang benar-benar modern timbul (Bellah, 1976 : 150-152).
Dalam perspektif Islam, dasar-dasar untuk hidup bersama dalam masyarakat yang pluralistik secara religius, sejak semula, memang telah dibangun di atas landasan normative dan historis sekaligus. Jika ada hambatan atau anomaly-anomali di sana sini, penyebab utamanya bukan karena inti ajaran Islam itu sendiri yang bersifat intoleran atau eksklusif, tetapi lebih banyak ditentukan dan dikondisikan oleh situasi historis-ekonomis-politis yang melingkari komunitas umat Islam di berbagai tempat. Kompetisi untuk menguasai sumber-sumber ekonomi, hegemoni kekuasaan, jauh lebih mewarnai ketidak-mesraan hubungan antar pemeluk beragama dan bukannya oleh kandungan ajaran etika agama itu sendiri (Abdullah, 1999 : 75).
Nurcholish Madjid, memberi penilaian tersendiri tentang masalah pluralisme agama di Indonesia. Dia menilai kegagalan umat dalam menangkap pesan toleransi dalam ajaran agama dikarenakan mereka menjadikan pluralisme hanya sebagai faham kemajemukan, keanekaragaman, yang terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi. Nurcholis juga tidak sependapat ketika pluralisme dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at buy). Dia menambahkan, pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya (Nurcholish, 1999 : 62).
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam amar ma’ruf nahi munkar di Indonesia, secara realistic tentu adalah salah satu institusi yang berada dalam lingkup pluralitas masyarakat sebagaimana yang tergambar di atas. Ketika melihat fenomena kecenderumangan umat yang intoleran dan eksklusif dalam kehidupan keberagamaannya, maka hal itu adalah wilayah garapan Muhammadiyah sebagai salah satu gerakan pembaharuan di Indonesia.
Keterlibatan Muhammadiyah dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan antar umat beragama, dapat dipilahkan menjadi dua persoalan besar. Pertama, Muhammadiyah harus dapat merumuskan landasan normative yang berdasarkan sumber-sumber utama ajaran agama Islam yakni al-Qur’an dan as-Sunnah bagaimana hubungan antar umat beragama harus terbentuk dan terjalin. Kedua, Muhammadiyah juga dituntut untuk dapat membuat kebijakan-kebijakan strategis berkaitan dengan hubungan sosial antar umat beragama. Ketiga dua bidang garap ini tidak tersentuh, maka boleh dikatakan Muhammadiyah tidak perlu dipersoalkan lagi kedudukannya sebagai kekuatan pembaharu umat (society reformation force).
Walaupun memang diakui bahwa dialog dan kerukunan antar umat beragama mesih merupakan barang mewah yang tidah hanya di Indonesia, tetapi juga di banyak negara di dunia ini. Di Timur Tengah, India, Burma, Irlandia, belum lagi di negara-negara bekas Uni Soviet dan Yoguslavia. Ketegangan antar umat beragama masih sangat tampak menghiasi berita surat kabar (Abdullah, 1999 : 76). Sederetan persoalan itu adalah sekian masalah hubungan antar umat beragama yang harus mendapat perhatian dari semua pihak khususnya adalah lembaga-lembaga dan tokoh-tokoh keagamaan.
Untuk itu, Muhammadiyah telah memulai dengan merumuskan aspek-aspek normative ajaran Islam untuk mengatur lalu lintas interaksi antar umat beragama, khususnya dalam interaksi sosial kemasyarakatan. Dan dari kepentingan itu lahirlah sebuah buku tafsir maudlu’I yang digagas dan dirumuskan oleh majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam dengan tema sentral “Hubungan Sosial Antar Umat Beragama”.
Dan penelitian ini diarahkan kepada studi terhadap buku tafsir tersebut dan mencari pokok-pokok pikiran yang berkembang di Muhammadiyah untuk mencoba memposisikan institusi Muhammadiyah di tengah-tengah eskalasi sosial-budaya masyarakat yang plural.

B. PERUMUSAN MASALAH
Yang menjadi masalah pokok dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimana metodologi ijtihad Muhammadiyah dalam menghadapi persoalan baru dan bagaimana buku Tafsir Tematik Hubungan Sosial Antar Umat Beragama tersebut mengupas dan menyusun kerangka pikirnya tentang gagasan toleransi dan interaksi antar umat beragama ?
2. Bagaimana Muhammadiyah memposisikan diri di tengah-tengah keragaman agama dan kepercayaan dikaitkan dengan peran tajdid (pembaharuannya) ?

C. TINJAUAN PUSTAKA
Dalam penelitian ini, penulis menjadikan buku tafsir maudhu’i yang diterbitklan oleh majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang berjudul “Hubungan Sosial antar Umat Beragama” sebagai kitab kunci dalam focus penelitian ini. Dan dalam buku itu tergambar secara jelas bagaimana sebebarnya pemikiran Muhammadiyah tentang hubungan antar umat beragama, sehingga bisa menggambarkan pula bagaimana Muhammadiyah melihat tantangan pluralisme keberagamaan dan mudah untuk selanjutnya memetakkan kecenderungan pemikiran Muhammadiyah.
Disamping buku pokok itu, tentu penulis melengkapinya dengan berbagai data dari wawancara dengan tokoh-tokoh Muhammadyah yang berkompeten dan representatif. Salah satu tokoh yang menurut rencana penulis akan dikorek datanya adalah Prof. Dr. Amin Abdullah, yang kala itu adalah ketua majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dan tak kalah menarik dari sosok Amin Abdullah adalah buku-bukunya yang sudah terbit beberapa buah yang dalam setiap isi bukunya tertuang konsepsi kokoh tentang pluralisme dan toleransi antar umat beragama. Buku-bukunya itu adalah antara lain; Studi Agama : Normativitas atau Historisitas ? ; Falsafah kalam di Era Postmodernisme; dan Dinamika Islam Kultural : Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer.
Disamping Amin Abdullah, ada juga seorang tokoh cendekiawan muslim yang telah banyak menelorkan gagasan-gagasannya tentang pluralisme dan toleransi, yakni Prof Dr. Nurcholish Madjid. Gagasan-gagasan itu tertuang dalam buku-bukunya yang menjadi ajuan juga dalam penelitian ini, diantaranya : Islam Doktrin dan Peradaban; dan Cendekiawan dan Relegiusitas Masyarakat.
Buku-buku yang membahas tentang pemikiran Muhammadiyah antara lain : Muhammadiyah dalam Kritik; Rekonstruksi Gerakan Muhammadiyah pada Era Multiperadaban dan Dialog Pemikiran Islam dalam Muhammadiyah. Buku-buku tersebut sedikitnya memberi gambaran rancang bangun epistimologis keilmuan Muhammadiyah yang dapat dijadikan sumber rujukan dalam membaca kecenderungan pemikiran Muhammadiyah. Kalau toh itu belum cukup (baca : representatif) untuk menggambarkan kerangka perfikir Muhammadiyah, paling tidak dari sanalah wacana Muhammadiyah dibangun.
Disamping penulis menggunakan buku-buku di atas, penulis juga menghadirkan buku-buku karya-karya ilmuwan Barat , diantaranya Robert N. Bellah, dan Goerge F. Hourani yang bukunya berjudul Beyond Belief : Essay on Religion in Post-Tradisional World dan Reason and Tradition in Islam Ethics.

D. METODE PENELITIAN
Adapun metode yang dipakai dalam penyusunan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis dan sifat penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah penelitian termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library re¬search), yaitu menganalisis muatan isi dari literatur-literatur yang terkait dengan penelitian.
Sedangkan penelitian ini bersifat diskriptif, yakni penyusun berusaha menggambarkan obyek penelitian, yaitu pemikiran dalam buku Hubungan Sosial antar Umat Beragama dan secara umum pemikiran Muhammadiyah yang berkaitan dengan masalah toleransi, pluralisme dan hubungan antar umat beragama.
2. Pengumpulan data
Untuk memperoleh data tentang pemikiran dalam buku Hubungan Sosial antar Umat Beragama dan pemikiran Muhammadiyah yang berkaitan dengan masalah toleransi, pluralisme dan hubungan antar umat beragama, penyusun menggunakan sumber-sumber primer berupa buku-buku dan makalah-makalah yang ada relevansinya dengan penyusunan penelitian ini, dan sumber-sumber sekunder berupa buku-buku, kitab-kitab, jurn¬al-jurnal yang terkait.
3. Pendekatan yang digunakan
Dalam menyusun penelitian ini, pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan normatif (al-qur’an dan sunnah) dan sosiologis.
Pendekatan normatif untuk menyelesaikan paparan-paparan kritis pada muatan-muatan pemikiran dalam buku Hubungan Sosial antar Umat Beragama dan pendekatan sosialogis untuk menyelesaikan masalah tentang bagaimana memetakan Muhammadiyah masalah toleransi, pluralisme dan hubungan antar umat beragama di Indonesia.
4. Metode analisis data
Dalam menyusun penelitian ini, metode analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis induktif dan deduktif

E. Pembahasan
1. Gerakan Tajdid Muhammadiyah
Dengan memperhatikan dan mencermati berbagai sorotan terhadap pemikiran keagamaan dan keislaman dalam Muhammadiyah selama sepuluh tahun terakhir Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam pimpinan Pusat Muhammadiyah menganggap bahwa sudah mendesak waktunya bagi gerakan pembaharuan pemikiran Islam di tanah air ini untuk memperhatikan dua dimensi wilayah keagamaan, yaitu wilayah religious practical guidance (fatwa dan tuntutan keagamaan secara praktis) dan juga wilayah pemikiran keagamaan (religious thought) yang lebih terkait dengan visi, gagasan, wawasan, diskursus, wacana, nilai-nilai fundamental dan sekaligus analisis akademis.
Jika sisi pertama bersifat mengikat (sebagaimana umat Islam terikat kepada aturan-aturan dan norma-norma ibadah mahdlah), sisi kedua tidak perlu mengikat. Sisi kedua lebih merupakan wacana, dialog atau diskursus yang membuka visi, wawasan, gagasan dan sensitivitas – yang sudah barang tentu tidak mesti harus didahului oleh kepustusan Majlis Tarjih yang mengikat – serta lebih menoonjolkan aspek analisis akademis terhadap tata nilai, pandangan hidup dan wilayah moralitas publik.
Wawasan pengembangan pemikiran Islam di lingkukan persyarikatan Muhammadiyah pasca Muktamar Banda Aceh 1995 mesih tetap mengacu kepada hubungan timbal balik yang kritis antara “normativitas” wahyu dan “historisitas” pemahamannya, baik era klasik, skolastik, modern dan lebih-lebih era modern tingkat lanjut. Yang menjadi titik tekan telaah dan pengembangan pemikiran keagamaan dan keislaman dalam Muhammadiyah adalah historisitas pemikiran keagamaan Islam dalam menghadapi berbagai isu dan perkembangan keilmuan, kebudayaan dan keagamaan kontemporer dengan tetap mengacu kepada normativitas wahyu yang bersifat rahmatan lil ‘alamin dan syifa’ lima fi as-sudur.
Dalam spekturum perspektif tersebut Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam periode 1995 – 2000 menganggap perlu adanya pemekaran wilayah bidang telaah dan kajian keagamaan dan keislaman. Salah satu dari kesekian butir program pengembangan pemikiran keislaman dalam Muhammadiyah adalah bidang pengembangan tafsir.
Adalah Imam Abu Hanifah yang pernah menyampaiakn bahwa dia membaca al-Qur’an selalu disertai dengan pemahaman yang “baru”. Bukan mushaf al-Qur’an yang baru, melainkan pemahaman seseorang terhadap al-Qur’an diharapkan selalu baru, karena disebabkan oleh pengaruh perbedaan latar belakang pendidikan penulis dan pembacanya, oerbedaan usia, perbedaan tantangan cultural, kelengkapan alat-alat laboratorium serta perkembangan temuan-temuan teori dan metodologi baru dalam ilmu-ilmu kealaman, budaya, sosial dan agama. Dalam bahasa pendekatan hermeneutik sekarang, jenis pembacaan terjhadap teks-teks keagamaan dan keislaman seperti itu dinamakan al-Qira’ah al-muntijah.
Senafas dan sealur dengan itu, Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam juga dituntut oleh masyarakat untuk mulai memikirkan pengembangan tafsir al-Qur’an secara tematis yang lebih mencerminkan semangat perkembangan zaman. Bukankan karya-karya besar kitab tafsir terdahulu seperti Tafsir at-Tabari, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir az-Zamakhsyari, Tafsir al-Baidlawi, Tafsir jalalain dan juga tafsir Muhammad Abduh (Tafsir al-Manar) dan tafsir Sayyid Qutb (Fi Zilal al-Qur’an) juga digerakkan dan dimotori oleh semangat dan tantangan jaman yang baru dan berbeda? Untuk era kontemporer, dirasakan perlunya sebuah tafsir al-Qur’an tematis dengan mempertimbangkan dan memperhatikan masukan-masukan dari berbagai pendekatan disiplin keilmuan, antara lain, ilmu-ilmu sosial (al-ulum al-ijtima’iyyah), pendekatan ilmu-ilmu kelalaman (al-‘ulum at-tabi’iyyah) dan ilmnu-ilmu budaya dan kemanusiaan (al-‘ulum al-insaniyyah as-saqafiyyah), disamping ilmu-ilmu ketuhanan (al-‘ulum al-ilahiyyah) seperti yang biasa dijumpai selama ini. Dari sinilah persyarikatan Muhammadiyah kemudian mencoba sebagai langkah awal menyusun tafsir tematis dengan judul Hubungan Sosial Antar Umat Beragama.
Secara umum, dalam ilmu tafsir al-Qur’an, tafsir tematis ada dua pola. Pola pertama, memilih suart tertentu dari al-Qur’an untuk ditafsirkan secara lengkap dengan anggapan bahwa satu surat di dalam al-Qur’an itu meskipun berbicara tentang banyak hal tetapi keseluruhannya merupakan satu gagasan sentral dan satu kesatuan tematis. Konse[ tafsit tematis ini telah sejak lama dikemukakan oleh para ulama Islam di zaman lampau seperti asy-Syatibi (w. 790/1388), misalnya, yang menyatakan bahwa satu surat meskipun berisi banyak makna (banyak masalah), namun keseluruhannya berpangkap pada satu tema pokok. Ia mencontohkan dengan surat al-Mu’minun yang diwahyukan menyangkut satu masalah meskipun di dalamnya terdapat berbagai pembicaraan pokok surat tersebut menurut asy-Syatibi adalah seruan untuk menyembah Allah (Asy-Syatibi, 1431 H, III : 249-54).
Pola kedua adalah menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat dalam al-Qur’an yang berbicara masalah yang sama untuk dihimpun dan disusun sedemikian rupa kemudian diberi tema dan ditafsirkan. Sesungguhnya apabila orang berbicara tetang tafsir tematis, tafsir jenis kedua inilah yang lazim digunakan.

2. Muhammadiyah dan Pluralitas Agama
Semenjak awal pertumbuhannya, Muhammadiyah selalu dihadapkan dengan realitas sosial keagamaan yang kompleks. Pada awal pertumbuhannya itu, setidaknya ada dua persoalan sosial-keagamaan yang secara signifikan mempengaruhi Muhammadiyah dalam menentukan visi dan dinamikanya pada masa-masa berikutnya.
Pertama, Muhammadiyah dihadapkan pada persoalan autentisitas dalam paham dan praktik keberagamaan masyarakat Islam. Sebagai wilayah yang berjauhan dengan umat Islam (Timur Tengah), banyak paham dan praktik keberagamaan uat Islam bercampur baur dengan tradisi yang berkembang sebelum kedatangan Islam di bumi Nusantara.
Menghadapi realitas semacam itu, Muhammadiyah melakukan purifikasi, yakni memurnikan kembali paham dan praktik keberagamaan umat Islam. Dalam pandangan Muhammadiyah semua praktik keberagamaan umat Islam harus merefleksikan tuntutan autentisitas al-Qur’an dan as-Sunnah. Muhammadiyah relatif berhasil menegakkan supremasi Islam autenti ini. Ini dibuktikan dari perkembangan kontituensi Muhammadiyah yang merambah di luar wilayah kelahiran Muhammadiyah, Yogyakarta.
Persoalan sosial-keagamaan kedua yang dihadapi oleh Muhammadiyah adalah penetrasi kalangan misionaris Kristen yang mendapatkan dukungan kuat dari penguasa kolonial Belanda ketika itu. Pergumulan dalam menghadapi penetrasi itu diungkapkan secara mendalam oleh Alwi Shihab dalam disertasi doktornya, Membendung Arus : Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (mIzan, 1998). Dalam disertasi Shihab itu, paling tidak ada dua yangmenarik. Pertama, Konstruksi teoritik shihab tentang motivasi pendirian Muhammadiyah. Yakni, disamping pendirian Muhammadiyah dimaksudkan untuk melakukan purifikasi, juga dalam rangka membendung arus dari kalangan misionaris Kristen dalam menyebarkan agamanya.
Ketiga, dalam rangka membendung arus itu, Muhammadiyah, terutama pada zamannya Ahmad Dahlan, alih-alih melakukan tidakan konfrontatif yang bisa mengakibatkan terjadinya kekerasan antar umat beragama seperti yang mengemuka balakangan ini. Muhammadiyah ternyata lebih memilih cara-cara kompentitif. Dan menarik lagi Muhammadiyan malah mengadaptasi cara-cara yang dilakukan oleh kalangan Kristen, misalnya dalam bidang pendidikan, Berbeda dengan kalangan Muslim tradisional, yang lebih menekankan pada fungsi koservatif terhadap institusi pendidikan yang didirikannya, Muhammadiyah dengan penuh kesadaran melakukan modernisasi pendidikan, seperti yang dilakukan oleh kalangan Kristen. Tentu saja, fungsi konservatif pendidikan tidak diabaiakan. Oleh karena itu, disamping memberikan mata pelajaran umum, yang “sekuler”, institusi pendidikan Muhammadiyah juga memberikan pelajaran agama. Cara yang ditempuh oleh Muhammadiyah itu, ternyata memberikan bekas yang kuat sampai sekarang ini. Meskipun akhir-akhir ini Muhammadiyah banyak menuai kritik, baik dari warga Muhammadiyah sendiri maupun dari publik luar, institusi sosial yang didirikan Muhammadiyah, terutama pendidikan dan rumah sakit, relatif memiliki daya tahan yang kuat.
Dua persoalan sosial-keagamaan yang dihadapi oleh Muhammadiyah itu, muaranya adalah pluralitas terutama yang bercorak keagamaan. Secara internal, Muhammadiyah berhadapan dengan muslim tradisional yang lebih akomodatif terhadap tradisi local. Sedangkan secara eksternal, Muhammadiyah dengan kalangan Kristen. Dari perspektif pluralisme, respon Muhammadiyah dalam menghadapi lingkungan sosial-keagamaan itu menari untuk diapresiasi secara kritis.
Apresiasi cultural terhadap keberhasilan Muhammadiyah dalam meretas persoalan sosial-keagamaan di atas sudah banyak dilakukan. Beberapa diantaranya misalnya yang diberikan oleh james Peacok dan Mark R. Eoodward. Setelah melakukan studi etnografis secara mendalam, keduanya berkesimpulan bahwa, daya tahan dan dinamika Muhammadiyah terletak pada sikap puritannya dalam rangka menegakkan Islam autentik. Namun begitu, disamping mencatat sejumlah sukses, yang oleh Jalaluddin Rakhmad (1991) disebut dengan aktiva neraca gerakan Muhammadiyah, Muhammadiyah juga melahirkan sejumlah pasiva, justru karena jalur puritan dan modern yang ditempuhnya itu.
Semua gerakan keagamaan yang beridioligi modern, seperti Muhammadiyah, pada umumnya terbius oleh narasi-narasi agung seperti rasionalisme. Dalam dunia keagamaan, praksis rasionalisme adalah rasionalisme dan demistifikasi tam dan praktik keberagamaan yang dianggap menyimpang dari tuntutan ajaran yang autentik. Dalam Muhammadiyah, praksis ini tampak demikian nyata pada tindakan Muhammadiyah yang kurang toleran terhadap tradisi local, meskipun jika dilakukan pelacakan secara arkeologis, tradisi itu sebenarnya mempunyai kaitan dengan sejaran Islam yang paling awal.
Lalu apa pasivanya? Kuntowijoyo (1998), seorang ilmuwan sosial Muhammadiah par excellence, memberikan kritik terbuka, jernih dan jujur terhadap Muhammadiyah. Kritiknya, Muhammadiyah sekarang ini mengidap penyakit idiocracy (kekuasaan cirri khas) sehingga penampilannya terkesan kaku. Kuntowijoyo memberikan contoh penyakit cultural yang dihadapi Muhammadiyah, seperti sikap sebagian warga Muhammadiyah yang alergi terhadap tradisi budaya dari komunitas muslim lainnya, hanya karena tradisi itu bukan milik “Muhammadiyah”. Maka tidak mengherankan, Muhammadiyah dituding sebagai gerakan anti symbol. Dengan sikap yang demikian, Muhammadiyah tidak saja mengalami kekeringan budaya,. Dalam konteks interaksi antar umatIslam, Muhammadiyah dengan mudahnya melakukan apa yang dalam teori sosiologi disebut dengan pelabelan (labeling), yakni menganggap tradisi bi\udaya kelompok lain sebagai sebuah penyimpangan, yang oleh kalangan Muhammadiyah disebut dengan bid’ah. Bisa jadi, ketegangan antara kalangan Muhammadiyah dengan kelompok Muslim tradisional, disebabkan oleh labelisasi itu. Sampai saat ini, kedua kubu itu terkesan sulit disinergikan. Dalam politik misalnya, tidak dapat dipungkiri ketegangan itu terkesan transparan.
Pendekatan kompetitif yang dipilih oleh Muhammadiyah dalam menghadapi pluralitas eksternal seperti ditulis di muka, merupakan pilihan yang tepat. Sebab kompetisi merupakan bukti kedewasaan dalam menghadapi perbedaan. Konflik sosial biasanya terjadi jika antara kelompok yang satu dengan yang lainnya tidak ada kesetaraan. Dalam posisi sosial semacam itu, biasanya berkecambah perasaan superioritas bagi kelompok yang memiliki posisi sosial tinggi, sebaliknya, perasaan inferioritas bagi kelompok yang memiliki posisi yang rendah. Dalam posisi superior-inferior sangat mudah menimbulkan ketegangan dan pertentangan, manakala tidak bisa diciptakan satu ruang dalam masing-masing kelompok saling berkompetisi secara sehat.

3. Gagasan-gagasan dalam Tafsir Tematik Tentang Hubungan Sosial Antar Umat Beragama
Dalam buku Tafsir Tematik Hubungan Sosial Antar Umat Beragama terdapat beberapa prinsip hubungan antar umat beragama yang dapat ditelusuri dalam al-Qur’an, yaitu pengakuan terhadap adanya pluralitas komunitas agama dan berlomba dalam berbuat kebajikan, koeksistensi damai. Serta keadilan dan perlakuan yang sama (Tarjih, 2000, 1).
Dalam menafsirkan al-Qur’an dalam rangka menyelediki kemungkinan mengenahi ada atau tidaknya konsep pluralisme agama dalam kitab suci ini. Hasilnya adalah bahwa terdapat beberapa ayat yang bisa difahami sebagai pengakuan terhadap adanya pluralitas umat beragama dan sebagai konsekwensinya dalam konteks umat beragama yang beragama itu al-Qur’an memberi bimbingan agar berlomba dan berkompetisi dalam kebaikan.
Pada dasarnya dalam tafsir tematis (maudhu’i) tidak perlu dilakukan annalisis kosa kata yang merupakan ciri tafsir tahlili. Dalam tafsir tematis kesimpulan mengenai suatu gagasan ditarik melalui induksi tematis dari keseluruhan ayat yang relevan dengan tema yang sedang dibicarakan. Namun dalam beberapa kasus analisis semacam itu tidak dapat dielakkan juga karena tema yang diselidiki muncul dari kata kunci.
Dalam buku tafsir tematik itu dikemukakan adanya kata kunci yakni wijhah yang terdapat dalam permulaan ayat tadi. Penggalan awal ayat pertama li kullin wijhatun huwa muwalliha, secara harfihah diterjemahkan “dan masing-masing mempunyai kiblat yang kepadanya ia menghadap. Otoritas tafsir zaman klasik pada umunya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata masing-masing (kullin) dalam penggalan ayat terasebut adalah masing-masing umat beragama atau masing-masing komunitas agama (ahl adyan, ahl al-millah). Karenanya Departemen Agama RI menterjemahkan penggalan ayat tersebut dengan Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya.




Dan masing-masing mempunyai kiblat yang ia menghadap kepadanya; maka berlom-lombalah kamu (dalam berbuat) kebikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (al-Baqarah (2):148).






Dan kami telah menurunkan al-Quran kepadamu dengan membawa kebenaran, mengkonfirmasi dan menjadi batu ujian trhadap kitab-kitab yang ada sebelumnya; maka putuskan perkara mereka menurut apa yang Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki niscaya dijadikannya kamu satu umat (saja) , tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepada kamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah jualah tempat kamu sekalian kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang kamu perselisihkan itu. ( al-Maidah (5):48).

Penggalan awal ayat pertama li kullin wijhatun huwa muwalli^ha^ secara harfiah terjemahnya adalah Dan masing-masing mempunyai kiblat yang kepadanya ia menghadap. Otoritas tafsir zaman klasik pada umumnya menyatakan bawa yang dimaksud dengan kata “masing-masing” (kullin) dalam penggalan ayat tersebut adlah masing-masing umat beragama atau masinng-masing komunitas agama (ahl al-adyan, ahl al-millah). Karenanya Departemen Agama RI dalam Al-Qur’an dan terjemahnya menerjemahkan penggalan ayat tersebut dengan Dan bagi tiap-tiap umat adaa kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Al-Thabari^ (w. 310/923) melaporkan sejumlah ahli tafsir klasik yang mengemukakan tafsir demikian ini, sepertIbn’Abbas (w. 68/ 687), Mujahid (w. 104/ 722), Al-Rabi^’ (w. 114 / 732), Al-Suddi^, dan Ibn Zaud (w. 183 / 798). 1 Al-Thabari^ sendiri dan oara penafsir sesudahnya mengikuti tafsir demikian. 2 Tetapi ada pula beberapa mufassir yang tidak jelas identitasnya yang menafsirkan “masing-masing” dalam ayat diatas sebagai masing-masingpenduduk negeri Muslim mempunyai arah dan posisi tertentu menghadap ke kiblat (Ka’bah). Selain itu ada pula tafsir yang menyatakan bahwa “masing-masing” dalam ayat di atas maksudnya masing-masing nabi. 3 Tafsir terakhir ini tidak jauh berbeda dengan tafsir pertama karena nabi mewakili suatu komunitas agama.
Mengenai kata huwa dalam penggalan di atas terdapat dua tafsir. Pertama, kata tersebut adalah kata ganti nama yang mereujuk kepada kata masing-masing umat beragama, sehingga ayat tersebut berbunyi seperti terjemahan yang dikutip di atas. Tafsir kedua menyatakan bahawa kata ganti nama itu merujuk kepada Tuhan, sehingga ayat itu berbunyi Dan masing-masing umat beragama mempunyai kiblat ke mana Dia (Allah) menghadapkan mereka.
Dengan pernyataan Al-Qur’an bahwa tiap-tiap komunitas beragama mempunyai kiblatnya yang menyimbulkan orientasi masing-masing kiranya dapat dilihat adanya pengakuan di dalam Al-Qur’an terhadap pluralisme agama. Hal ini bertambah tegas lagi dengan pernyataan dalam surat Al-Ma’idah 48 bawa masing-masing umat beragama memiliki praktek keagamaannya sendiri.
Secara keseluruhan ayat Al-Qur’an tang tersebut di dalam surat Al-Ma’idah 48 ini merupakan bagian di dalam suatu pasase panjang surat Al-Ma’odah (ayat 41-50) yang berbicara tentang pentingnya arti kiblat suci bagi masing-masing agama. Secara historis pasase ini turun dalam kaitannya dengan kasus segolongan orang Yahudi yang memanipulasi ketentuan hukum dalam kitab suci merek kemudian minta bembenaran dari Nabi Muhammad saw atas perbuatan tersebut. Dalam ayat 41 digambarkan pesan yang diberikan kepada utusan yang dikirim menghadap Nabi Muhammad bahwa jika kepada mereka oleh Nabi Muhammad diberikan keputusan sesuai dengan hasil manipulasi mereka, utusan itu diminta untuk menerimanya; dan jika tidak diberi keputusan yang sesuai dengan hasil manipulasi mereka, utusan itu diminta untuk berhati-hati. Ayat 42 berikutnya meminta Muhammad agar apabila bersedia memberi keputusan hukum kepada mereka hendaklah didasarkan kepad prinsip keadilan, tetapi Nabi Muhammad juga dibenarkan untuk menolak memberikan keputusan kepada orang-orang Yahudi itu.
Selanjutnya dalam buku tafsir tematik dibicarakan ayat-ayat yang berkaitan dengan menjaga hubungan baik dan menjalin kerjasama antar sesama umat beragama. Menjaga hubungan baik tercermin dalam saling menghargai dan tidak saling mencaci serta mengadakan dialog yang embangun dan bermanfaat bagi masing-masing pihak .





“Apabila kamu diberi penghormatan dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya atau balaslah penghormatan itu dengan yang sama. Sesungguhnya Allah selalu membuat perhitungan atas segala sesuatu. (an-Nisa’ : 86)







“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan melampui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat memandang baik perbuatan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat mereka kembali, lalu Dia memberitahukan kepada mereka apa yang dulu mereka kerjakan”. (al-An’am : 108)





“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab kecuali dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang dzalim diantara mereka, dan katakanlah, “Kami beriman dengan Kitab-Kitab yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu, dan kami hanya kepada-Nya berserah diri.” (al-‘Ankabut : 46)

Ayat-ayat di atas sesungguhnya amatlah berbeda dan sulit dikatakan memiliki tema yang sama. Satu-satunya hubungan antar ayat-ayat tersebut adalah bahwa masing-masing terkait dengan masalah menjaga hubungan baik antar umat beragama dalam aspeknya masing-masing. Ada tiga butir yang terkait dengan masalh menjaga hubungan baik antar umat beragama, yaitu mengucapkan salam, larangan memaki sesembahan antar agama yang berlainan dan berdiskusi dengan cara yang baik.
Ayat kedua dan ketiga mengajarkan agar umat Islam dapat membina saling pengertian yang baik degan umat dari agama lain, seperti dapat difahami darim pernyataan ayat, “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan melampui batas tanpa pengetahuan. (al-An’am : 108), dan “Janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang baik (al-Ankabut : 46). Membina saling pengertian yang baik dapat dilakukan dengan meningkatkan frekwensi dialog konstruktif untuk menjelaskan posisi masing-masing dan memahami posisi pihak lain. Berbagai teori dialog dikemukakan oleh para ahli dari manca negara (Knitter, 1995).
Ayat ke dua diatas (al-An’am : 108) jelas melarang Muslim untuk melakukan penghimnaan, pencacian dan penggunaan kata-kata yang menyinggung umat agama lain, tetapi menurut Q.S. al-Ankabut : 42 boleh berdiskusi secara baik dan bertukar pandangan mengenai pengalaman agama masing-masing.
Ayat ketiga memerintahkan supaya berdialog secara baik dengan orang-orang Ahlu Kitab, kecuali kepada mereka yang dzalim, maksudnya orang-orang yang menyatakan perang terhadap umat Islam (Ibid : 232). Kemudian umat Islam harus menjaleaskan posisi mereka mengenahi wahyu-wahyu Allah yang diturunkan kepada Ahli Kitab tersebut sebagai wahyu yang diakui dan bahwa mereka juga mengimani dan berserah diri kepada Tuhan yang sama yang mereka imani.

F. KESIMPULAN
Setelah dilakukan pembahasan dalam bab-bab sebelumnya, penelitian ini menyimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Tajdid dan pembaharuan yang paling mendasar bagi Muhammadiyah adalah pandangan tentang larangan bertaqlid buta dan terbukanya kembali pintu ijtihad, setelah sebelumnya dikatakan pintu ijtihad tertutup. Oleh karena itu, ijtihad merupakan dasar bagi pembaharuan di segala bidang
2. Secara garis besar metode ijtihad terbagi menjadi tiga , yakni (a) bayani (semantic), yaitu metode yang menggunakan pendekatan kebahasaan, (b) ta’lili (rasionalistik), yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan penalaran, (c) istislahi (filosofis), yaitu penetapan hukum yang menggunakan pendekatan kemaslahatan. Selain metode ijtihad, juga disebutkan pendekatan dan teknik yang digunakan. Pendekatan ijtihad terdiri atas at-tafsir al-ijtima’ al-ma’asyir (hermeneutic), at-tarikhiyah (historis), as-susiulujiyah (sosiologi) dan antrafulujiah (antropologi). Adapun tekniknya adalah ijma’, qiyas, maslahah mursalah dan urf.
3. Kitab tafsir tematis Hubungan sosial antar umat beragama mengikuti langkah-langkah tafsir diantaranya dengan menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat dalam al-Qur’an yang berbicara masalah yang sama untuk dihimpun dan disusun sedemikian rupa kemudian diberi tema dan ditafsirkan..
4. Pendekatan kompetitif yang dipilih oleh Muhammadiyah dalam menghadapi pluralitas eksternal seperti ditulis di muka, merupakan pilihan yang tepat. Sebab kompetisi merupakan bukti kedewasaan dalam menghadapi perbedaan. Konflik sosial biasanya terjadi jika antara kelompok yang satu dengan yang lainnya tidak ada kesetaraan. Dalam posisi sosial semacam itu, biasanya berkecambah perasaan superioritas bagi kelompok yang memiliki posisi sosial tinggi, sebaliknya, perasaan inferioritas bagi kelompok yang memiliki posisi yang rendah. Dalam posisi superior-inferior sangat mudah menimbulkan ketegangan dan pertentangan, manakala tidak bisa diciptakan satu ruang dalam masing-masing kelompok saling berkompetisi secara sehat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar